Senin, 02 Juli 2007

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN BANKERS LETTER OF CREDIT (L/C)

Latar Belakang
Dalam perdagangan internasional Letter of Credit (L/C) merupakan instrumen perbankan yang sangat penting. L/C berperan sangat dominan sebagai alat pembayaran ekspor impor dibandingkan dengan cara pembayaran non L/C.
L/C sebagai suatu instrumen dalam perdagangan internasional diatur secara internasional oleh Kamar Dagang Internasional. Peraturan ini dituangkan dalam The Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC). Bank Indonesia juga telah menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993, yang menyatakan Bank Indonesia memberikan pilihan kepada Bank Umum yang menerbitkan L/C boleh tunduk atau tidak pada UCP 1993 Revision, ICC Publication No. 500. Demikian juga di luar negeri, bank-bank komersial sudah menundukkan L/C yang diterbitkan pada UCPDC. Di samping itu Bank Indonesia menerbitkan pula peraturan yang mendukung pelaksanaan transasksi impor ekspor melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/26/ULN/1999 Tahun 1999 tentang Penjaminan Letter of Credit dan Pembiayaan Letter of Credit melalui Penempatan Dana Bank Indonesia pada Bank Asing; dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/11/DLN/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Impor.
Bank devisa sebagai pihak yang terkait dalam transaksi L/C, belum memiliki kesamaan pendapat dalam melaksanakan transaksi tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi di dalam lingkup nasional tetapi juga menjadi masalah antarnegara yang terkait dalam transaksi. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan L/C, UCPDC tidak mengatur kerjasama antara UCPDC dengan hukum nasional, namun UCPDC hanya mengatur secara umum pelaksanaan L/C secara lintas negara.
Dari uraian di atas, tampak bahwa dalam perberlakuan UCPDC, terdapat hal-hal tertentu yang berbenturan dengan kepentingan hukum nasional, terutama ditinjau dari persoalan pelaksanaan L/C berdasarkan UCPDC yang bertentangan dengan hukum nasional.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah The Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC) dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah L/C?
Pembahasan
Ketentuan-Ketentuan Dalam Transaksi Letter Of Credit
Gambaran Singkat Tentang Letter of Credit
L/C merupakan instrumen yang sangat penting, khususnya dalam perdagangan ekspor impor yang digunakan sebagai sarana untuk memudahkan penyelesaian utang piutang. Pada umumnya L/C digunakan untuk membiayai kontrak penjualan barang antarnegara antara pemberli dengan penjual yang belum saling mengenal. Dengan perkataan lain, L/C merupakan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh bank atas nama salah satu nasabahnya yang menguasakan seseorang atau sebuah perusahaan penerima tersebut dengan menarik wesel atas bank yang bersangkutan atau atas salah satu bank korespondennya bagi kepentingannya, berdasarkan kondisi/persyaratan yang tercantum pada instrumen tersebut. Sementara itu, dalam UCPDC, L/C merupakan janji dari bank penerbit (Issuing Bank) untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain (Advising Bank) untuk melakukan pembayaran kepada penerima (beneficiary) atas penyerahan dokumen-dokumen (misalnya konosemen, faktur, asuransi) yang sesuai dengan persyaratan L/C.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa L/C merupakan janji pembayaran, dimana bank penerbit melakukan pembayaran kepada penerima baik langsung ataupun melalui bank lain atas instruksi pemohon (applicant) yang berjanji membayar kembali kepada bank penerbit.
Permintaan penerbitan L/C terdiri dari 2 (dua ) bagian yaitu format permintaan penerbitan L/C dan perjanjian jaminan ganti kerugian (security agreement). Perjanjian jaminan ganti kerugian di Indonesia dan di negara lain ditetapkan oleh masing-masing bank penerbit secara sepihak. Dengan perkataan lain, jika pemohon dapat menyetujuinya, pemohon tinggal membubuhkan tanda tangan pada perjanjian tersebut dan jika pemohon ingin menambahkan ketentuan tambahan, maka hal tersebut harus terlebih dahulu disetujui oleh bank penerbit. Perjanjian jaminan ganti kerugian memuat hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit secara relatif rinci.
Sementara, bentuk dasar permintaan penerbitan L/C di Indonesia ditetapkan oleh Bank Indonesia sehingga keberadaannya seragam pada semua bank penerbit. Namun, Bank Indonesia memberi kebebasan kepada semua bank devisa untuk menambahkan klausul-klausul lainnya sesuai kebutuhan bank penerbit dan pemohon, sehingga materi cakupan format permintaan penerbitan L/C dapat diperluas. Format permintaan penerbitan L/C berisi hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit yang melengkapi hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit sebagaimana dimuat dalam perjanjian jaminan ganti kerugian.
Bank penerbit menerbitkan L/C kepada penerima tidak boleh menyimpang dari permintaan penerbitan L/C. Jika bank penerbit melakukan penyimpangan, maka bank penerbit bertanggung jawab atas risiko yang mungkin timbul dari tindakannya. Pemohon hanya bertanggung jawab sebatas isi permintaan penerbitan L/C. Pemohon berhak menolak pembayaran kembali kepada bank penerbit terhadap L/C yang diterbitkan bank tersebut yang menyimpang dari permintan penerbitan L/C. Dana pemohon tersebut sudah pasti hanya boleh digunakan oleh bank penerbit sepanjang bank penerbit bertindak sesuai dengan isi permintaan penerbitan L/C yang telah disepakati antara pemohon dan bank penerbit. Apabila bank penerbit bertindak di luar kesepakatan sehingga merugikan pemohon, maka pembayaran yang telah dilakukan oleh bank penerbit kepada penerima baik langung ataupun melalui kuasanya menjadi tanggungjawab bank penerbit dan tidak boleh dibebankan pada pemohon.
Permintaan penerbitan L/C diatur oleh hukum nasional masing-masing negara yang dalam hal-hal tertentu dapat berbeda dari satu negara terhadap negara lainnya. Akan tetapi, hakikat permintaan penerbitan sama secara internasional yaitu bank penerbit menerbitkan L/C karena pemohon berjanji membayar kembali nilai L/C kepada bank penerbit yang melakukan pembayaran baik langsung maupun melalui bank yang ditunjuk kepada penerima.
UCPDC yang mengatur hubungan hukum antara pemohon dan bank penerbit pada dasarnya terbatas pada pelaksanaan prosedur yang meliputi instruksi penerbitan dan perubahan L/C, instruksi penerbitan L/C yang tidak jelas atau tidak lengkap dalam penyampaian instruksi dan dalam pelaksanaan intruksi. Selain UCPDC, hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit dalam rangka pelaksanaan prosedur juga didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Hukum kebiasaan internasional diperlukan karena tidak semua masalah-masalah hukum dari transaksi L/C diatur dalam UCP.
Hubungan Hukum dalam Transaksi Letter of Credit
Dalam transaksi Letter of Credit terdapat hubungan-hubungan hukum yang utama, yaitu:
Hubungan Hukum Pemohon dan Penerima
Kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C adalah sales contract (kontrak penjualan). Kontrak penjualan memuat hak dan kewajiban pembeli/ pemohon dan penjual/ penerima.
L/C diterbitkan bank penerbit atas permintaan pemohon sesuai dengan kontrak penjualan. Bank penerbit atau bank penerus bukan para pihak dalam kontrak penjualan walaupun nama kedua bank ini dimuat dalam kontrak penjualan. Para pihak dalam kontrak penjualan adalah pembeli dan penjual.
L/C yang diterbitkan atas dasar kontrak penjualan, menurut hukum L/C merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan. Apabila terjadi sengketa dalam kontrak penjualan, maka tidak boleh dikaitkan dengan L/C. Pemisahan seperti ini dinamakan prinsip pemisahan kontrak atau prinsip independensi L/C. Namun pada pelaksanaannya kadang-kadang terjadi intervensi atas prinsip pemisahan kontrak tersebut. Sengketa mengenai barang yang merupakan subyek kontrak penjualan diikuti dengan penangguhan pembayaran yang merupakan subyek L/C.
Sebagai contoh, dalam kasus antara PT Star Impactama Indah dengan Lucky-Goldstar Jakarta Representative Office, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membenarkan keberadaan intervensi kontrak penjualan terhadap L/C, yaitu sengketa atas barang diikuti dengan penangguhan pembayaran atas L/C.
Hubungan Hukum Pemohon dan Bank Penerbit
Hubungan hukum antara pemohon dan penerbit didasarkan pada kontrak yang dinamakan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C diperlukan dalam rangka merealisasi cara pembayaran sebagaimana diatur dalam kontrak penjualan. Jika Bank penerbit setuju untuk melaksanakan permintaan pemohon, maka bank penerbit menerbitkan L/C. L/C dengan demikian diterbitkan berdasarkan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C dan kontrak penjualan juga terpisah satu sama lain.
Sebagai contoh, dalam kasus antara United City Merchants (Investments) Ltd. Dengan Royal Bank of Canada,10 dimana hakim mengatakan: “The contract between the buyer and the issuing bank under which the latter agrees to issue the credit and either itself or through a confirming bank to notify the credit to the seller and to make payments to or to the order of the seller (or to pay, accept or to negotiate bills of exchange drawn by the seller) against presentation of stipulated documents; and the buyer agrees to reimburse the issuing bank for payments made under the credit. For such reimbursement the stipulated documents, if they include a document of title such as a bill of lading, constitute a security available to the issuing bank.”
Dalam kasus ini, dasar hubungan hukumnya adalah kontrak antara pemohon yaitu United City Merchants (Investments) Ltd. Dan bank penerbit yaitu Royal Bank of Canada. Klausula kontrak ini mengenai permintaan penerbitan L/C dan hanya mengikat pemohon dan bank penerbit. Inti dari kontrak tersebut, bank penerbit berjanji menerbitkan L/C kepada penerima, karena pemohon berjanji akan membayar kembali sebesar nilai L/C kepada bank penerbit. Selain itu, pemohon juga berkewajiban membayar biaya penerbitan L/C kepada bank penerbit.
Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Penerima
Hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank penerbit yang disetujui penerima. Persetujuan penerima terhadap L/C diwujudkan melalui pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C kepada bank penerbit. Namun penerima tidak berkewajiban untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh bank penerbit. Sebelum L/C disetujui oleh penerima, maka L/C merupakan kontrak sepihak dari bank penerbit yang tidak mengikat penerima. L/C diterbitkan atas dasar permintaan penerbitan L/C, tetapi kedua kontrak ini terpisah satu sama lain.
Hak dan kewajiban bank penerbit dan penerima diatur dalam UCPDC sepanjang L/C tunduk pada UCPDC. Namun, walaupun L/C tunduk pada UCPDC tidak berarti bahwa semua ketentuan UCPDC harus berlaku bagi L/C tersebut. L/C dapat memuat klausul-klausul tersendiri terlepas dari ada atau tidak pengaturannya dalam UCPDC. Dalam hal klausul-klausul tersebut bertentangan dengan ketentuan UCPDC, maka yang berlaku adalah klausul-klausul tersebut. Namun, dalam hal klausul-klausul tersebut tidak diatur dalam UCPDC maka dengan sendirinya klausul-klausul tersebut berlaku bagi L/C. Pengaturan klausul-klausul demikian dalam L/C sesuai dengan asas freedom of contract (kebebasan berkontrak) yang dikenal secara internasional.
Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Bank Penerus
Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus didasarkan pada instruksi bank penerbit kepada bank penerus yang disetujui bank penerus. Bank penerbit memberi instruksi kepada bank penerus untuk meneruskan L/C. Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus adalah “hubungan keagenan” dimana bank penerbit bertindak sebagai prinsipal dan bank penerus sebagai agen. Hak dan kewajiban kedua bank ini diatur dalam instruksi bank penerbit yang dimuat dalam L/C. Selain itu, hak dan kewajiban kedua bank juga diatur dalam UCPDC jika L/C tunduk pada UCPDC. UCPDC mengatur hak dan kewajiban bank penerbit dan bank penerus dalam melakukan penerusan dan perubahan L/C kepada penerima. Sebagai bank penerus saja bank ini tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran, negosiasi, atau akseptasi terhadap wesel penerima.
Jika bank penerus dalam L/C diminta juga oleh bank penerbit untuk menambahkan konfirmasinya pada L/C, maka bank penerus tersebut juga melaksanakan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi (confirming bank). Dalam hal bank penerus adalah juga sebagai bank pengkonfirmasi, maka kewajiban bank ini adalah sama dengan kewajiban bank penerbit yaitu melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi wesel terhadap penerima. Konsekuensinya, bank pengkonfirmasi berkewajiban pula melakukan penelitian kesesuaian antara dokumen-dokumen yang diajukan dan L/C sebagai syarat untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi.
Tangggung jawab bank penerbit dan bank pengkonfirmasi terhadap pembayaran L/C sama yaitu pembayaran dapat dimintakan kepada salah satu dari kedua bank ini. Jika bank pengkonfirmasi tidak bersedia melakukan pembayaran L/C dengan alasan-alasan tertentu, maka bank penerbit tetap berkewajiban menggantikan. Pembayaran yang dilakukan bank pengkonfirmasi wajib dibayar kembali oleh bank penerbit atau bank pereimburs (reimbursing bank) yang ditunjuk bank penerbit karena bank pengkonfirmasi adalah agen dari bank penerbit.
Namun demikian, UCPDC tidak mewajibkan bank penerus menjadi bank pengkonfirmasi. Artinya, bank penerus dapat menolak permintaan bank penerbit untuk bertindak sebagai bank pengkonfirmasi. Dalam hubungan ini, Artikel 9 huruf c UCPDC 500 mengatakan:
“if another bank is authorised or requested by the issuing bank to add its confirmation to a Credit but is not prepared to do so, it must so inform the issuing bank without delay. Unless the issuing bank specifies otherwise in its authorisation or request to add confirmation, the advising bank may advise the Credit to the beneficiary without adding its confirmation.”
Bank yang diberi kuasa oleh bank penerbit menjadi bank penerus tidak harus sekaligus menjadi bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank penegosiasi atau bank pengaksep. Artinya, bank penerus dapat berfungsi hanya sebagai bank penerus dan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank penegosiasi, atau bank pengaksep dilakukan oleh bank lain. Tindakan bank penerus atau bank lain untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi merupakan kontrak yang mengikat (binding contract) terhadap bank penerbit sepanjang persyaratan L/C dipenuhi.
Hubungan Hukum Bank Penerus dan Penerima.
Hubungan hukum antara bank penerus dan penerima tergantung dari fungsi yang dilakukan oleh bank penerus sesuai dengan persyaratan L/C. bank penerus dapat berfungsi sebagai bank penerus, bank pengkonfirmasi, bank penegosiasi, bank pembayar.
Dalam hal bank penerus hanya menjalankan fungsinya sebagai bank penerus, maka kewajibannya terhadap penerima hanya terbatas pada penerusan L/C dan penerusan perubahannya. Oleh karena itu, penerima tidak berhak untuk meminta pembayaran L/C dari bank penerus. Namun dalam hal bank penerus juga sebagai bank pengkonfirmasi maka selain meneruskan L/C kepada penerima bank ini juga melakukan konfirmasi atas L/C tersebut. Konsekuensinya, penerima dapat meminta pembayaran L/C kepada bank pengkonfirmasi dimaksud karena kewajiban bank pengkonfirmasi merupakan tambahan terhadap kewajiban pembayaran dari bank penerbit terhadap penerima. Apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank penegosiasi maka kewajiban bank ini yaitu selain meneruskan L/C juga melakukan pembelian dokumen-dokumen yang diajukan penerima. Selanjutnya, apabila bank penerus diminta pula sebagai bank pembayar maka kewajiban bank ini adalah meneruskan L/C dan melakukan pembayaran kepada penerima.
Namun, apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank pengaksep, maka kewajiban bank ini selain meneruskan L/C kepada penerima juga melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan penerima dan membayarnya pada saat pembayaran jatuh tempo. Kecuali dalam kapasitas bank penerus hanya sebagai bank penerus, maka bank penerus dalam menjalankan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank penegosiasi, bank pembayar, atau bank pengaksep wajib melakukan penelitian atas kesesuaian dokumen-dokumen yang diajukan penerima dengan persyaratan L/C. Jika dokumen-dokumen sesuai dengan L/C, maka bank tersebut berkewajiban melakukan pembayaran L/C kepada penerima. Pelaksanaan pembayaran L/C tunduk pada UCPDC dan hukum nasional yang berkaitan dengan L/C.
Di Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Sementara, di Amerika diatur dalam Uniform Commercial Code (UCC) dan di Inggris diatur dalam Bills of Exchnge Act 1882. UCPDC dan hukum nasional saling melengkapi dalam mewujudkan pembayaran L/C.
Ketentuan Hukum yang Mengatur Letter of Credit
Ketentuan Hukum Tentang Letter of Credit di Indonesia
Dasar hukum L/C di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 khususnya Pasal 3 ayat (1), yang menyatakan: “Cara pembayaran ekspor dan impor dilakukan dengan tunai atau dengan kredit.”
Meskipun ketentuan pelaksana yang mengatur secara rinci belum ada. Namun dalam praktik perbankan di Indonesia telah digunakan UCPDC sebagai ketentuan L/C. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 mengatur bahwa L/C yang diterbitkan bank devisa boleh tunduk atau tidak kepada UCPDC. Dengan demikian, Bank Indonesia secara yuridis formal memberikan kebebasan kepada bank devisa di Indonesia untuk menentukan sikap. Isi dari penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN tersebut, dilatar belakangi oleh status UCPDC yang bukan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan Letter of Credit pada Perdagangan
UCPDC merupakan ketentuan kebiasaan yang digunakan dalam perdagangan internasional dengan menggunakan Banker’s L/C.26 UCPDC bertujuan menciptakan keseragaman dalam pembayaran L/C secara internasional dan merupakan pedoman dalam pelaksanaan L/C.
Untuk pertama kalinya UCPDC dikeluarkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) pada tahun 1933 dan hanya diadopsi oleh beberapa negara di Eropa tidak termasuk Inggris. Pada tahun 1951, dilakukan revisi pertama atas UCPDC yang kemudian diadopsi oleh perbankan di Amerika. Kemudian pada tahun 1962 dilakukan revisi kedua yang diadopsi oleh perbankan Inggris dan negara-negara persemakmuran. Revisi ketiga dilakukan pada tahun 1974 yang diadopsi oleh hampir semua perbankan internasional. Revisi yang keempat dilakukan tahun 1983 yang juga diadopsi oleh perbankan internasional. Kemudian revisi yang terakhir dilakukan pada tahun 1993, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1994 yang dikenal dengan sebutan UCPDC 500.
UCPDC 500 mengatur persyaratan dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi pembayaran L/C dan merupakan pedoman yang digunakan pelaku L/C dalam transaksi L/C. Dokumen-dokumen yang dipersyaratkan didalam L/C merupakan syarat agar L/C dibayar oleh bank penerbit atau kuasanya. Dokumen-dokumen tersebut terdiri dari dokumen transportasi, dokumen asuransi, faktur dagang, dan dokumen lainnya. Bank yang terkait dalam transaksi L/C memiliki kewajiban untuk meneliti semua dokumen apakah telah sesuai dengan persyaratan L/C.29 Hal tersebut menentukan apakah L/C dapat dibayarkan atau tidak oleh Bank.
Pertentangan Hukum pada Transaksi Letter of Credit
Pada dasarnya L/C tunduk pada ketentuan dalam UCPDC dan menjadi pilihan hukum dalam transaksi L/C. Namun sebenarnya UCPDC bukan merupakan satu-satunya hukum yang berlaku untuk L/C. Dalam UCPDC Artikel 49, pengadilan atau lembaga abritase dapat menerapkan hukum nasional, meskipun L/C tunduk pada UCPDC.
Tidak semua masalah-masalah yang terjadi dalam L/C diatur dalam UCPDC. Namun masalah yang timbul tetap harus diselesaikan dan dapat dilakukan dengan merujuk pada ketentuan hukum nasional. Penentuan hukum nasional sebagai hukum yang berlaku atas L/C didasarkan pada prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Hal ini didasarkan pada kesepakatan para pihak dalam L/C yang dituangkan dalam kontrak.
Tinjauan Yuridis Terhadap Letter Of Credit Pada Ketentuan Hukum Nasional Dan UCPDC 500
Perangkat Hukum Indonesia Mengenai Letter of Credit dalam Kaitannya dengan UCPDC 500
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 merupakan dasar hukum merupakan dasar hukum L/C di Indonesia, meskipun ketentuan pelaksanaan yang secara rinci mengatur L/C belum ada. Namun Bank Indonesia dalam Surat Edaran No. 26/34/ULN tanggal 7 Desember 1993 menyatakan bahwa L/C yang diterbitkan bank devisa boleh tunduk atau tidak pada UCPDC. Dengan demikian, Bank Indonesia secara yuridis normatif memberikan kebebasan kepada bank devisa untuk menentukan aturan dalam transaksi L/C.
Isi Surat Edaran Bank Indonesia tersebut, dilatarbelakangi oleh status UCPDC yang bukan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Surat Edaran tersebut secara eksplisit mengharuskan L/C yang diterbitkan bank devisa tunduk pada UCPDC, maka menjadikan UCPDC bagian dari hukum nasional dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam hal para pihak menghendaki L/C tunduk pada UCPDC dan memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap L/C, maka bank penerbit harus melakukan suatu tindakan dengan mencantumkan suatu klausul dalam L/C yang menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC. Ketentuan ini terdapat pada UCPDC 500 artikel 1, yang menyatakan: “The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits, 1993 Revision, ICC Publication No. 500, shall apply to all Documentary Credits (including to the extent to which they may be applicable, Standby Letters of Credit) where they are incorporated into the text of the Credit. They are binding on all parties there to, unless otherwise expressly stipulated in the Credit.”
Selanjutnya ketentuan L/C dalam UCPDC merupakan hukum kebiasaan dari praktek pembayaran dalam perdagangan internasional. UCPDC merupakan pedoman dalam pelaksanaan L/C, agar dapat menghindari perbedaan atau salah penafsiran di antara para pelaku L/C dalam pelaksanaan L/C. Meskipun ada beberapa negara yang menyatakan bahwa UCPDC merupakan kodifikasi praktik dalam transaksi perdagangan internasional. Oleh karena itu, pengaturan UCPDC sedapat mungkin dipadukan dengan keadaan yang berkembang dalam transaksi perbankan internasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Bank Indonesia secara implisit menghendaki agar L/C yang diterbitkan oleh bank devisa tunduk pada UCPDC. Hal ini dikarenakan UCPDC merupakan satu-satunya ketentuan L/C yang berlaku internasional. Namun Bank Indonesia menghindari UCPDC sebagai hukum nasional, dengan maksud fleksibilitas penerbitan L/C.
Tinjauan Yuridis Terhadap Masalah Pertentangan Hukum
Dalam hal terjadi permasalahan hukum di antara para pelaku L/C, UCPDC tidak mengatur dengan tegas mengenai pilihan hukum untuk penyelesaiannya. Dengan menundukkan L/C pada UCPDC, para pihak hanya mengadopsi seperangkat peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan prosedur dari L/C. Apabila para pihak belum menyatakan pilihan hukumnya dalam hal terjadi sengketa L/C, maka pengaturan tersebut dapat merujuk pada hukum nasional.
Namun, dalam hal terjadi pertentangan hukum antara UCPDC dengan hukum nasional, sementara UCPDC tidak mengatur penyelesaian sengketanya dan UCPDC tidak dapat mengesampingkan hukum nasional, maka diselesaikan oleh pengadilan atau arbitor dengan melakukan pilihan hukum. Penentuan hukum nasional sebagai hukum yang berlaku atas L/C didasarkan pada prinsip hukum perdata internasional yang berlaku bagi kontrak internasional. Hal ini dapat didasarkan pada hukum nasional yang memiliki keterkaitan paling dekat dan nyata dengan transaksi L/C, misalnya ditentukan berdasarkan Lex Contractus atau Lex Loci Solutionis.
Para pihak melakukan pilihan hukum atas dasar asas kebebasan berkontrak. Meskipun pilihan hukum para pihak harus dihormati, namun pilihan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum (public policy). Konsepsi ketertiban umum berbeda dari satu negara kenegara lainnya. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 tentang Tata cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, ketertiban umum adalah sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.
Pilihan hukum hanya dapat dilakukan terhadap sistem hukum yang memiliki keterkaitan yang relevan dengan kontrak. Para pihak tidak dapat memilih sistem hukum yang sama sekali tidak ada keterkaitan dengan kontrak yang bersangkutan. Pilihan hukum tersebut merujuk pada substansi hukum intern dari negara yang dipilih, bukan merujuk pada sistem hukum perdata internasional dari negara yang dipilih. Dalam transaksi L/C, mengenai kontrak penjualan; permintaan penerbitan L/C; dan kontrak keagenan merupakan bidang hukum kontrak yang bersifat mengatur. Sehingga, dalam hal diperlukan dalam masing-masing kontrak tersebut dapat dimuat klausul pilihan hukum.
Kontrak-kontrak dalam rangka transaksi L/C apabila dilihat dari pentingya pengaturan pilihan hukum dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian yaitu pertama kelompok yang mutlak perlu pilihan hukum dan kedua kelompok yang relatif perlu pilihan hukum. Kelompok yang pertama meliputi kontrak penjualan dan L/C; dan kelompok yang kedua mencakup permintaan penerbitan L/C dan kontrak keagenan. Pengelompokan ini dilakukan atas pertimbangan bahwa permintaan penerbitan L/C pada dasarnya tidak memerlukan pengaturan pilihan hukum karena pemohon dan bank penerbit pada umumnya berada dalam negara yang sama. Sementara itu, kontrak keagenan yang merupakan bagian dari L/C juga pada dasarnya tidak memerlukan pengaturan pilihan hukum untuk L/C. Berdasarkan pengelompokan tersebut, pengaturan pilihan hukum hanya sangat relevan untuk kontrak penjualan dan L/C.
Dalam hal kontrak penjualan tidak memuat klausul pilihan hukum, maka hukum nasional yang berlaku atas kontrak penjualan tersebut ditentukan berdasarkan teori-teori hukum perdata internasional yang berlaku untuk kontrak seperti teori-teori dalam hukum perdata internasional, yaitu lex loci contractus; lex loci solutionis; dan the closest and most real connection.
Hukum Nasional yang berlaku atas Letter of Credit
Dalam hal L/C tidak memuat klausul pilihan hukum maka hakim harus menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut dalam hal terjadi sengketa. Penentuan hukum nasional yang berlaku didasarkan pada prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional mengenal beberapa teori untuk menentukan hukum nasional yang berlaku.
Teori tersebut antara lain adalah teori lex loci contractus yaitu teori yang mengatakan bahwa hukum nasional yang berlaku atas L/C adalah hukum nasional negara tempat L/C ditandatangani. Dalam hal L/C ditandatangani oleh bank penerbit dan oleh karena itu hukum nasional yang berlaku terhadap L/C adalah hukum nasional negara di mana bank penerbit berada.
Teori lainnya adalah teori lex loci solutionis yang mengatakan bahwa hukum nasional yang berlaku untuk L/C adalah hukum nasional negara tempat pelaksaan kontrak. Dalam hal L/C dilaksanakan dengan cara menerbitkan dan melakukan pembayaran L/C,maka bank yang menerbitkan dan membayar L/C adalah bank penerbit dan oleh sebab itu hukum nasional yang berlaku atas L/C adalah hukum nasional negara di mana bank penerbit berada.
Hal ini berarti bahwa penentuan hukum nasional yang berlaku atas L/C, baik berdasarkan teori lex loci contractus maupun atas dasar teori lex loci solutionis hasilnya akan selalu sama yaitu memberlakukan hukum nasional negara tempat bank penerbit. Oleh karena itu, dalam rangka penentuan hukum nasional yang berlaku atas L/C, pembedaan kedua teori hukum perdata internasional ini tidak relevan. L/C merupakan pengecualian terhadap pembedaan antara teori lex loci contractus dan lex loci solutionis. Dengan perkataan lain, untuk menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tidak perlu dilihat dari kedua teori tersebut, melainkan cukup berdasarkan salah satu saja dari kedua teori dimaksud.
Dalam menentukan hukum nasional yang berlaku atas kontrak dagang internasional didasarkan pada teori kepentingan yang paling karakteristik dengan kontrak tersebut. Dengan adanya kriteria kepentingan yang paling karakteristik, akan diperoleh lebih banyak kepastian hukum dibanding dengan menggunakan teori-teori lama seperti lex loci contractus atau lex loci solutionis atau teori lainnya.
Teori kepentingan yang paling karakteristik tersebut berlaku juga untuk L/C, mengingat L/C adalah salah satu dari kontrak dagang internasional. Dalam hal L/C tidak memuat klausul pilihan hukum maka untuk menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut dapat digunakan teori kepentingan yang paling karakteristik atau teori faktor yang paling terkait atau disebut juga teori keterkaitan paling dekat dan paling nyata.
Menurut teori ini, kecenderungan hukum nasional yang berlaku untuk L/C adalah hukum negara di mana bank penerbit berada. Dengan perkataan lain, keterkaitan paling dekat dan paling nyata ditemukan di negara bank penerbit berupa tempat dilakukannya penerbitan L/C, tempat dilakukannya perubahan L/C, tempat dilaksanakannya penelitian dokumen-dokumen dan tempat dilaksanakannya pembayaran L/C.
Namun, kecenderungan itu juga berlaku bagi pemberlakuan hukum negara di mana penerima berada karena pada negara tersebut dapat terjadi permintaan pembayaran L/C, penelitan dokumen-dokumen dan pembayaran L/C.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidak semua masalah L/C diatur dalam UCPDC. Sementara itu, setiap permasalahan harus diselesaikan oleh para pihak agar tidak mengganggu lalu lintas perdagangan dan bonafiditas salah satu pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, masalah yang timbul tetap dapat diselesaikan dengan menunjuk hukum nasional setelah mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional yang berlaku dalam kontrak. Meskipun hukum nasional yang berlaku belum tentu sesuai dengan kemauan para pihak karena dimungkinkan hukum nasional yang berlaku hukum negara ketiga yang materi muatannya berbeda dengan hukum nasional masing-masing pihak.
Kesimpulan
UCPDC 500 tidak selalu memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap L/C. UCPDC hanya mengikat bagi L/C, apabila di dalam L/C dimuat klausul tentang pilihan hukum yang menyatakan tunduk kepada UCPDC. Penundukan pada UCPDC hanya sebatas pada pelaksanaan prosedur L/C, bukan merupakan penundukan pada masalah-masalah hukum yang tidak di atur dalam UCPDC. Kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C adalah sales contract atau kontrak penjualan. Kontrak penjualan memuat hak kewajiban para pihak, klusul cara pembayaran, dan lainnya. L/C yang diterbitkan merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan. Pemisahan ini disebut dengan prinsip indepedensi L/C. Permasalahan yang timbul dalam sales contract tidak boleh dikaitkan dengan L/C. Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi intervensi atas prinsip pemisahan kontrak tersebut. Permasalahan mengenai barang yang menyangkut subyek kontrak penjualan diikuti dengan penangguhan pembayaran yang merupakan subyek L/C.
Dalam hal terjadi permasalahan di antara pelaku L/C terutama yang tidak diatur dalam UCPDC, diselesaikan oleh hukum nasional. Untuk menentukan pilihan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut, dapat menggunakan teori-teori dalam hukum perdata internasional. Sebaiknya L/C yang diterbitkan oleh bank pembuka di Indonesia dibuat agar tunduk pada UCPDC 500 karena UCPDC 500 telah diterima secara internasional; dan dibuat peraturan perundang-undangan mengenai L/C internasional, dimana UCPDC dan hukum nasional sejalan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S., Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Ekspor. PT Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, 1997.
Budi Fitriadi S., Aspek Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Diktat Perkuliahan Lalu Lintas Dalam Negeri dan Luar Negeri, STIE YPKP, Bandung, 2000
Charles del Busto, Operational Rules for Letter of Credit: Effect of New Uniform Customs and Practice Rules, Uniform Commercial Code Law Journal, Volume 17 Number 4, Spring 1995.
Henry D. Gabriel, Stanby Letter of Credit: Does the Risk Out Weigh the Benefits, Columbia Business Law Review. 1998.
Lazar Sarna, Letter of Credit-The Law and Current Practice, Carswell, Toronto, Calgary, Vanxouver, 1996.
Putusan Sela Nomor: 207/Pdt. G/1994/PN.Jak.Sel.
Ramlan Ginting, Letter of Credit, Salemba Empat, 2000, Jakarta
Roselyne Hutabarat, Transaksi Ekspor Impor, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1998
Raymond Jack, Documentary Credits, Butterworths, London, Dublin, Edinburgh, 1993.
Ruddy Tri Santoso, Pembiayaan Transaksi Luar Negeri, Andi Offset, Yogyakarta.
Sudargo Gautama, Kontrak Internasional, Makalah Ilmiah Tentang Perkembangan Hukum Kontrak Dalam Bisnis di Indonesia, Jakarta, 1999.
Sumitro, Peranan UCP 500 dalam Mengantisifasi Kerugian Bank Devisa dan Nasabah, Seminar Tentang 8 Strategi Kunci Versi UCP-500, yang diselengarakan oleh KADIN, Jakarta, 2002.
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit atau UCPDC 1993 Revision, ICC Publication No. 500.

Tidak ada komentar: