Senin, 02 Juli 2007

STRATEGY OF PUBLIC RELATIONS IN FORMING IMAGE COMPANY (Strategi Public Relations Dalam Membentuk Citra Perusahaan)

Pendahuluan


Keterbukaan sistem ekonomi Indonesia membawa dampak yang juga berakibat terhadap aspek ketergantungan ekonomi dan dunia usaha nasional kita terhadap gejolak dan perkembangan ekonomi secara global itu. Pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha Indonesia pun tidak lagi mengandalkan sumber-sumber alamiah, tetapi cenderung membutuhkan proses peningkatan yang banyak ditentukan oleh kemampuan manusia dan pelaku ekonomi untuk dapat bersaing secara internasional.



Iklim ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia dengan mengejar pertumbuhan ekonomi dan berupaya pemerataannya, telah memacu perkembangan public relations terutama dengan kehadiran perusahaan-perusahaan konglomerasi yang telah menimbulkan berbagai benturan nilai, kepentingan, persaingan tingkat nasional maupun perdagangan dunia. Pada satu sisi pertumbuhan ekonomi mengesankan, tapi di sisi lain diperlukan kesiapan masyarakat/publik menerima perubahan ini. Keadaan ini telah membuka lahan baru di bidang public relations agar saling pengertian, saling menguntungkan, adanya kemauan baik, dan timbulnya citra positif bisa dicapai antara perusahaan dan publiknya.



Suatu perusahaan sangat memerlukan adanya komunikasi timbal balik untuk mencapai tujuannya, terjalinnya komunikasi timbal balik tersebut dapat dilakukan dengan adanya public relations. Artinya menjadi hal yang utama bagi public relations untuk mampu mengemban fungsi dan tugasnya dalam melaksanakan hubungan komunikasi ke dalam, yaitu upaya membina hubungan yang harmonis antara pimpinan manajemen dengan para karyawan, dan antara pimpinan dengan pemilik perusahaan atau sebaliknya. Begitu juga kemampuannya untuk menjembatani atau membangun hubungan komunikasi dengan masyarakat luar sebagai publiknya yang pada akhirnya dapat menentukan sukses atau tidaknya tujuan dan citra yang hendak dicapai oleh perusahaan.


Public relations, timbul karena adanya tuntutan kebutuhan. Hal ini dengan tidak disadari telah merupakan profesi yang baru atau disiplin yang baru. Dalam perusahaan, Public relations mempunyai tujuan untuk memberikan kepuasan terhadap semua pihak yang berkepentingan, yaitu masyarakat umum, para karyawan dan para pimpinan perusahaan itu sendiri. Sedangkan maksud dari aktivitas public relations adalah untuk mencegah adanya “Misunderstanding”, untuk memperoleh penghargaan (prestise) dari masyarakat dan mempengaruhi massa. Di samping itu, juga untuk meningkatkan moral para karyawan, atas penghargaannya dari hasil usahanya. Sehingga jelas, bahwa suatu perusahaan untuk pertumbuhan usahanya diperlukan dukungan dari masyarakat (public support), di mana public relations dapat merupakan alat mencapai tujuan perusahaan.
Suatu perusahaan yang menyadari pentingnya public relations, maka akan menempatkan public relations sebagai bagian integral dari perusahaan tersebut, bukan sekedar komplementer sifatnya. Public relations didorong membuat perencanaan dan mengadakan aktivitas-aktivitas yang mampu membangun citra positif perusahaan, baik diminta atau tidak, public relations tetap bekerja secara konsisten. Bahkan, public relations diberi keleluasaan akses mengikuti setiap perkembangan internal baik yang formal maupun yang bersifat rahasia sekalipun, yang akhirnya public relations juga menjadi tulang punggung pemasok utama informasi dalam pengambilan keputusan.
Pada dasarnya aktivitas public relations meliputi kegiatan yang dimulai dari pembenahan organisasi public relations itu sendiri (the public relations begins at home), dan berperan sebagai juru bicara (company speaker) serta bertindak sebagai sebagai pendukung manajemen perusahaan (back up of corporate management), sehingga mampu menciptakan citra perusahaan (make an image and corporate identity) di mata publik pada umumnya dan khalayak sasaran (target audience) khususnya.
Kini, banyak sekali perusahaan atau organisasi dan orang-orang yang mengelolanya sangat sensitif menghadapi publik-publik mereka yang kritis. Dalam satu penelitian terhadap seratus top eksekutif, lebih dari 50 % menganggap “penting sekali untuk memelihara publik yang baik”. Sekarang ini banyak sekali perusahaan atau organisasi memahami sekali perlunya memberi perhatian yang cukup untuk membangun suatu citra yang menguntungkan bagi eksistensi perusahaan tidak hanya dengan melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan publik negatif. Dengan perkataan lain, citra perusahaan adalah fragile commodity (komoditas yang rapuh/mudah pecah). Namun, kebanyakan perusahaan juga meyakini bahwa citra perusahaan yang positif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang (Soemirat dan Ardianto, 2002:111).
Dengan demikian, public relations yang merupakan alat dalam mencapai tujuan perusahaan, dalam menjalankan fungsinya, bertujuan untuk menegakkan dan mengembangkan citra perusahaan agar dalam posisi yang tetap selalu positif. Untuk itu diperlukan adanya suatu strategi public relations yang efektif dalam melaksanakan fungsi tersebut.
Public Relations
Public relations merupakan singkatan dari kata-kata “the relations with public” atau dengan istilah bahasa Indonesia : hubungan masyarakat adalah kependekan dari kata-kata “hubungan dengan masyarakat”. Yaitu antara instansi atau perusahaan dengan masyarakat-masyarakat tertentu, yang ada kepentingannya (Ibnu Syamsi, 1980:6).
Menurut penelitian yang pernah diadakan di Amerika Serikat terdapat 2000 orang terkemuka di bidang public relations telah membuat definisi tentang public relations. Namun dari seluruh definisi yang ada setelah diseleksi oleh sebuah panitia yang terdiri dari para ahli public relations, terdapat 3 (tiga) definisi yang dianggap terbaik yaitu :
Definisi J.C. Seidel, Direktur public relations, Division of Housing, State New York berbunyi: public relations adalah proses yang kontinyu dari usaha-usaha manajemen untuk memperoleh goodwill dan pengertian dari langganannya, pegawainya dan publik umumnya. Ke dalam dengan mengadakan analisa dan perbaikan-perbaikan terhadap diri sendiri, keluar dengan mengadakan pernyataan-pernyataan.
Definisi W. Emerson Reck, Public Relations Director, Colgate University. Public relations adalah kelanjutan dari proses penetapan kebijaksanaan, penentuan pelayanan-pelayanan, dan sikap yang disesuaikan dengan kepentingan orang-orang atau golongan agar orang atau lembaga itu memperoleh kepercayaan dan goodwill dari mereka. Pelaksanaan kebijaksanaan, pelayanan, dan sikap adalah untuk menjamin adanya pengertian dan penghargaan yang sebaik-baiknya.
Definisi Howard Bonham, Vice Chairman, America National Red Cross: Public relations adalah suatu seni untuk menciptakan pengertian publik yang lebih baik, yang dapat memperdalam kepercayaan publik terhadap seseorang atau sesuatu organisasi/badan (Bambang Siswanto, 1992:5).
International Public Relations Associations (IPRA) mendefinisikan public relations adalah fungsi manajemen dari ciri yang terencana dan berkelanjutan melalui organisasi dan lembaga swasta atau publik (umum) untuk memperoleh pengertian, simpati dan dukungan dari mereka yang terkait atau mungkin ada hubungannya dengan penelitian opini publik di antara mereka. Untuk mengaitkannya sedapat mungkin kebijaksanaan dan prosedur yang mereka pakai untuk melakukan hal itu direncanakan dan disebarkanlah informasi yang lebih produktif dan pemenuhan keinginan bersama yang lebih efisien (Soemirat dan Ardianto, 2002:14).
Soemirat dan Ardianto (2002:14) menyatakan, konsep public relations adalah untuk memahami dan mengevaluasi berbagai opini publik atau isu publik yang berkembang terhadap suatu organisasi/perusahaan. Dalam kegiatannya public relations memberi masukan dan nasihat terhadap berbagai kebijakan manajemen yang berhubungan dengan opini atau isu publik yang tengah berkembang. Dalam pelaksanaannya public relations menggunakan komunikasi untuk memberitahu, mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku publik sasarannya. Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan public relations pada intinya adalah good image (citra yang baik), goodwill (itikad baik), mutual under standing (saling pengertian), mutual confidence (saling mempercayai), mutual appreciation (saling menghargai), dan tolerance (toleransi).
Di samping itu Bambang Siswanto (1992:5), mengemukakan pendapatnya bahwa dalam public relations itu terdapat suatu usaha atau kegiatan untuk menciptakan keharmonisan atau sikap budi yang menyenangkan antara suatu badan dengan publiknya. Kegiatan yang menonjol adalah menanamkan dan memperoleh pengertian, goodwill, dan kepercayaan publik tertentu dan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan definisi-definisi public relations yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa public relations adalah salah satu bagian dari suatu perusahaan yang mempunyai tugas memahami dan mengevaluasi berbagai opini publik atau isu publik yang berkembang terhadap suatu perusahaan, yang digunakan sebagai masukan terhadap berbagai kebijakan agar tercipta keharmonisan atau sikap budi yang menyenangkan antara suatu perusahaan dengan publiknya dengan tujuan akhir sebagaimana yang dikemukakan oleh Soemirat dan Ardianto (2002:14) yaitu mencapai good image (citra yang baik), goodwill (itikad baik), mutual under standing (saling pengertian), mutual confidence (saling mempercayai), mutual appreciation (saling menghargai), dan tolerance (toleransi).
Peranan public relations dalam sebuah organisasi adalah berkaitan dengan tujuan utama dan fungsi-fungsi manajemen perusahaan. Fungsi dasar manajemen tersebut merupakan suatu proses kegiatan atau pencapaian suatu tujuan pokok dari organisasi/perusahaan dan biasanya berkaitan dengan memanfaatkan berbagai potensi sumber-sumber (sumber daya) yang dimiliki oleh organisasi/perusahaan bersangkutan, unsur-unsur sumber daya tersebut oleh Rosady Ruslan (1994:58) dinamakan dengan 6-M, yaitu: Sumber daya Manusia (Men), Sumber Material/barang yang dikuasai (Material), Alat atau perkakas mesin produksi yang dimiliki (Machine), Kemampuan keuangan (Money), Metode yang dipergunakan (Method) dan Perluasan atau pemasaran yang hendak dicapai/dituju (Market).
Praktisi public relations dalam menunjang keberhasilan mencapai tujuan utama manajemen perusahaan/organisasi yang hendak dicapai, harus mempunyai ketrampilan khusus, yaitu:
Creator : Memilki kreativitas dalam penciptaaan suatu gagasan, ide-ide atau buah pemikiran yang cemerlang.
Conceptor : Mempnyai kemampuan (skill) sebagai konseptor dalam hal penyususnan program kerja public relations dan rencana program lainnya.
Mediator : Kemampuan menguasai teknik komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan pesan atau informasi dari perusahaan/organisasi yang diwakilinya kepada publik.
Problem Solver : Mampu mengatasi setiap permasalahan yang dihadapinya, baik secara pro-aktif, antisipasif, inovatif, dinamis dan solutif (Rosady Ruslan, 2002:15).
Oleh karena itu menurut Rosady Ruslan (2002:28), peranan komunikasi dalam suatu aktivitas manajemen perusahaan biasanya diserahkan atau dilakukan oleh pihak public relations. Dengan peranan tersebut, pejabat humas (PRO Manager) akan melakukan fungsi-fungsi manajemen perusahaan, secara garis besar aktivitas utamanya berperan sebagai :
Communicator, kemampuan sebagai komunikator baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui media cetak/elektronik dan lisan (spoken person). Di samping itu juga bertindak sebagai mediator dan persuador. Komunikasi manajemen yang dalam praktiknya, bersifat tiga dimensi yaitu: komunikasi vertikal, horizontal dan eksternal.
Relationship, kemampuan peran public relations membangun hubungan yang positif antara perusahaan ang diwakilinya dengan publik internal dan eksternal. Berupaya menciptakan saling pengertian, kepercayaan, dukungan, kerja sama dan toleransi antara kedua belah pihak tersebut.
Back up Management, melaksanakan dukungan atau menunjang kegiatan lain, seperti bagian manajemen promosi, pemasaran, operasional, personalia dan sebagainya untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu kerangka tujuan pokok perusahaan.
Good Image maker, menciptakan citra atau publikasi yang positif merupakan prestasi, reputasi dan sekaligus menjadi tujuan utama bagi aktivitas public relations dalam melaksanakan manajemennya.
Selanjutnya Rosady Ruslan (2002:24) menyatakan, peranan public relations diharapkan menjadi “mata” dan “telinga” serta “tangan kanan” bagi top manajemen dari perusahaan/organisasi, yang ruang lingkup tugasnya antara lain meliputi aktivitas :
Membina hubungan ke dalam (publik internal), yang dimaksud dengan publik internal adalah publik yang menjadi bgian dari unit/badan/perusahaan atau organisasi itu sendiri. Dan mampu mengidentifikasi atau mengenali hal-hal yang menimbulkan gambaran negatif di dalam masyarakat, sebelum kebijakan itu dijalankan oleh organisasi.
Membina hubungan keluar (publik eksteral), yang dimaksud publik eksteral adalah publik umum (masyarakat). Mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran yang positif, publik terhadap perusahaan yang diwakili.
Dengan demikian peran public relations bersifat dua arah, yaitu berorientasi ke dalam (inward looking) dan ke luar (outward looking). Beberapa kegiatan dan sasaran public relations sebagai pendukung fungsi manajemen perusahaan, yaitu:
Building corporate identity and image (Menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif dan mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan berbagai pihak).
Facing crisis (menangani complain dan menghadapi krisis yang terjadi dengan membentuk manajemen krisis dan public relations recovery of image, memperbaiki: lost of image and damage.
Citra
Citra merupakan tujuan pokok sebuah perusahaan. Terciptanya suatu citra perusahaan (corporate image) yang baik dimata khalayak atu publiknya akan banyak menguntungkan. Misalkan, akan menularkan citra yang serupa kepada semua produk barang dan jasa yang dihasilkan di bawahnya, termasuk para pekerjanya (employee relations) akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri, akan menimbulkan sense of belonging terhadap company tempat mereka bekerja (Rosady Ruslan, 1995:66).
Rosady Ruslan selanjutnya menyatakan, pengertian citra itu sendiri abstrak atau intangible, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari penilaian, baik semacam tanda respek dan rasa hormat, dari publik sekelilingnya atau masyarakat luas terhadap perusahaan dilihat sebagai sebuah badan usaha atau personelnya yang baik, dipercaya, profesional dan dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan yang baik.
Menurut Rhenald Kasali (1994:28), citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. Sedangkan menurut Bill Canton dalam Sukatendel yang dikutip kembali oleh Soemirat dan Ardianto (2002:111), menyatakan bahwa citra adalah “image: the impression, the feeling, the conception which the public has of company; a concioussly created impression of an object, person or organization”. (citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang hanya dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi).
Selanjutnya disebutkan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu obyek dapat diketahui dari sikapnya terhadap obyek tersebut (Soemirat dan Ardianto, 2002:111).
Frank Jefkins, dalam Soemirat dan Ardianto (2002:117), mengemukakan jenis-jenis citra, antara lain:
The mirror image (cerminan citra), yaitu bagaimana dugaan (citra) manajemen terhadap publik eksternal dalam melihat perusahaannya.
The current image (citra masih hangat), yaitu citra yang terdapat pada publik eksternal, yang berdasarkan pengalaman atau menyangkut miskinnya informasi dan pemahaman publik eksternal. Citra ini bisa saja bertentangan dengan mirror image.
The wish image (citra yang diinginkan), yaitu manajemen menginginkan pencapaian prestasi tertentu. Citra ini diaplikasikan untuk sesuatu yang baru sebelum publik eksternal memperoleh informasi secara lengkap.
The multiple image (citra yang berlapis), yaitu sejumlah individu, kantor cabang atau perwakilan perusahaan lainnya dapat membentuk citra tertentu yang belum tentu sesuai dengan keseragaman citra seluruh organisasi atau perusahaan.
Strategi
Kebanyakan perusahaan, kini mengakui peranan public relations cukup menonjol dalam pengambilan keputusan manajemen. Sering terjadi public relations melapor atau berhubungan langsung kepada top management. Hal ini ini terjadi karena public relations adalah interpreter (penerjemah) manajemen, sehingga public relations harus mengetahui apa yang manajemen pikirkan setiap saat terhadap setiap isu publik yang sebenarnya.
Manajemen dalam konteks strategi, mempunyai peran untuk membantu perusahaan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan usaha.
Strategi adalah bagian terpadu dari suatu rencana (plan), sedangkan rencana merupakan produk dari suatu perencanaan adalah salah satu fungsi dasar dari proses manajemen (Rosady Ruslan, 2002:120).
Dengan mengacu pada definisi strategi di atas, dapat dikatakan bahwa strategi adalah pelaksanaan suatu perencanaan yang telah dapat digunakan untuk mencapai tujuan rencana. Dalam suatu strategi terdapat kiat-kiat yang merupakan tahapan dalam pelaksanaan suatu strategi, kiat-kiat tersebut digunakan untuk mencapai tujuan jangka pendek yang merupakan salah satu penunjang untuk mencapai tujuan jangka panjang. Dengan demikian kiat merupakan bagian dalam suatu strategi.
Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggiatan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.
Berdasarkan pentahapan fungsi-fungsi manajemen, harus ditentukan terlebih dahulu tujuan yang hendak diraih, yaitu pada posisi tertentu atau dimensi yang ingin dicapai sesuai dengan perencanaan (statement of organization destination) yang telah diperhitungkan dengan baik oleh pihak-pihak yang terlibat dalam manajemen suatu organisasi bersangkutan, yaitu strategi “apa dan bagaimana” yang dipergunakan dalam perencanaan untuk mencapai suatu tujuan perusahaan, dan program kerja (action plan) merupakan suatu strategi yang dijabarkan dalam langkah-langkah yang telah dijadwalkan (direncanakan semula), kemudian terakhir yang paling menentukan adalah unsur anggaran (budget) yang sudah dipersiapkan, dan sekalipun merupakan “dana dan daya” sebagai pendukung yang bersifat khusus dialokasikan untuk terlaksananya atau atas suatu strategi program kerja manajemen public relations.
Istilah strategi manajemen sering pula disebut rencana strategi atau rencana jangka panjang perusahaan, yaitu suatu rencana strategis perusahaan menetapkan garis-garis besar tindakan strategis yang akan diambil dalam kurun waktu tertentu ke depan. Selain berkonotasi jangka panjang, strategi manajemen juga menyandang konotasi strategi. Kata strategi sendiri mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal seperti kemenangan, kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut dengan hal-hal yang berkaitan dengan mampu atau tidaknya perusahaan atau organisasi menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau dari luar.
Strategi Public Relations
Menurut Ahmad S. Adnanputra (dalam Rosady Ruslan, 2002:121) pengertian tentang strategi public relations, antara lain mengatakan: Alternatif optimal yang dipilih untuk ditempuh guna mencapai tujuan public relations dalam kerangka suatu rencana public relations (public relations plan).
Menurut Kasali dalam Soemirat dan Ardianto (2002:92), public relations dapat memberikan kontribusinya dalam proses strategic management, melalui dua cara:
Melakukan tugasnya sebagai bagian dari strategic management ke seluruh organisasi dengan melakukan survey atas lingkungan dan membantu mendefinisikan misi, sarana dan objective organisasi/perusahaan. Keterlibatan public relations dalam proses menyeluruh ini akan memberi manfaat yang besar bagi perusahaan dan sekaligus bagi public relations sendiri, khususnya pada tingkat korporat.
Public relations dapat berperan dalam strategic management dengan mengelola kegiatannya secara strategis, artinya bersedia mengorbankan kegiatan jangka pendek demi arah perusahan secara menyeluruh.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa public relations bertujuan untuk menegakkan dan mengembangkan suatu citra yang menguntungkan (favorable image) bagi perusahaan, atau produk barang dan jasa terhadap para stakeholders-nya (khalayak sasaran yang terkait yaitu publik internal dan publik eksternal). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka strategi kegiatan public relations semestinya diarahkan pada upaya menggarap persepsi para stakeholder-nya sebagai tempat akarnya sikap tindak dan persepsi mereka. Konsekuensinya, jika strategi penggarapan itu berhasil, akan memperoleh sikap tindak dan persepsi yang menguntungkan dari stakeholder sebagai khalayak sasarannya, yang pada akhirnya akan tercipta suatu opini dan citra yang menguntungkan.
Ahmad S. Adnanputra dalam Rosady Ruslan (2002:127), menyatakan bahwa landasan umum proses penyusunan strategi public relations, yang berkaitan dengan fungsi-fungsi public relations secara integral melekat pada manajemen suatu perusahaan, yaitu:
Mengidentifikasi permasalahan yang muncul.
Identifikasi unit-unit sasarannya.
Mengevaluasi mengenai pola dan kadar sikap tindak unit sebagai sasarannya.
Mengidentifikasi tentang struktur kekuasaan pada unit sasaran.
Pemilihan opsi atau unsur taktikal strategi public relations.
Mengidentifikasi dan evaluasi terhadap perubahan kebijaksanaan atau peraturan pemerintahan dan lain sebagainya.
Langkah terakhir adalah menjabarkan strategi public relations, dan taktik atau cara menerapkan langkah-langkah program yang telah direncanakan, dilaksanakan, mengkomunikasikan, dan penilaian/evaluasi hasil kerja.
Dalam pembentukan strategi korporat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu yang berkaitan dengan lingkungan, kondisi, visi atau arah, tujuan dan sasaran dari suatu pola yang menjadi daar budaya perusahaan bersangkutan (corporate culture) yaitu antara lain:
Secara makro, lingkungan perusahaan tersebut akan dipengaruhi oleh unsur-unsur: kebijakan umum (publik policy), budaya (culture) yang dianut, sistem perekonomian dan teknologi yang dikuasai oleh organisasi bersangkutan.
Secara mikro, tergantung dari: misi perusahaan, sumber-sumber dimiliki yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan sumber daya guna lainnya yang dikuasai, sistem pengorganisasian, dan rencana atau program dalam jangka pendek atau jangka panjang, serta tujuan dan sasarannya yang hendak dicapai.
Peare dan Robinson dalam Kasali yang dikutip kembali oleh Soemirat dan Ardianto (2002:92), mengembangkan langkah-langkah strategic management sebagai berikut:
Menentukan mission perusahan. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan yang umum mengenai maksud pendirian (purpose), filosofi dan sasaran.
Mengembangkan company profile yang mencermikan kondisi intern perusahaan dan kemampuan yang dimilikinya.
Penilaian terhadap lingkungan ekstern perusahaan, baik dari segi semangat kompetitif maupun secara umum.
Analisis terhadap peluang yang tersedia dari lingkungan (yang melahirkan pilihan-pilihan).
Identifikasi atas pilihan yang dikehendaki yang tidak dapat digenapi untuk memenuhi tuntutan misi perusahaan.
Pemilihan strategi atas objetive jangka panjang dan garis besar strategi yang dibutuhkan untuk mencapai objektive tersebut.
Mengembangkan objektive tahunan dan rencana jangka pendek yang selaras dengan objektive jangka panjang dan garis besar strategi.
Implementasi atas hasil hal-hal di atas dengan menggunakan sumber yang tercantum pada budget (anggaran) dan mengawinkan rencana tersebut dengan sumber daya manusia, struktur, teknologi dan sistem balas jasa yang memungkinkan.
Review dan evaluasi atas hal-hal yang telah dicapai dalam setiap periode jangka pendek sebagai suatu proses untuk melakukan kontrol dan sebagai input bagi pengambilan keputusan di masa depan.
Selanjutnya James E. Grunig dan Fred Repper dalam Kasali yang dikuti kembali oleh Soemirat dan Ardianto (2002:93), mengemukakan model strategic management dalam kegiatan public relations (untuk menggambarkan dua peran public relations dalam strategic management secara menyeluruh dan dalam kegiatan public relations itu sendiri) melalui tujuh tahapan, di mana tiga tahapan pertama mempunyai cakupan luas sehingga lebih bersifat analisis. Empat langkah selanjutnya merupakan penjabaran dari tiga tahap pertama yang diterapkan pada unsur yang berbeda-beda, yakni :
Tahap stakeholders: sebuah perusahaan/organisasi mempunyai hubungan dengan publiknya bilaman perilaku perusahaan tersebut mempunyai pengaruh terhadap stakeholder-nya atau sebaliknya. Public relations harus melakukan survey untuk terus membaca perkembangan lingkungannya dan membaca perilaku perusahaannya serta menganalisis konsekuensi yang akan timbul. Komunikasi yang dilakukan secara kontinyu dengan stakeholders ini membantu perusahaan untuk tetap stabil.
Tahap publik: publik terbentuk ketika perusahaan menyadari adanya problem tertentu. Pendapat ini berdasarkan hasil peneltitian Grunig dan Hunt, yang menyimpulkan bahwa publik muncul sebagai akibat adanya problem dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain publik selalu eksis bilamana ada problem yang mempunyai potensi akibat (konsekuensi) terhadap mereka. Publik bukanlah suatu kumpulan massa umum biasa, mereka sangat efektif dan spesifik terhadap suatu kepentingan tertentu dan problem tertentu. Oleh karena itu public relations perlu terus menerus mengidentifikasi publik yang muncul terhadap berbagai problem. Biasanya dilakukan melalui wawancara mendalam pada suatu focus group.
Tahap isu: publik muncul sebagai konsekuensi dari adanya problem selalu mengorganisasi dan menciptakan “isu”. Yang dimaksud dengan “isu” di sini bukanlah isu dalam arti kabar burung atau kabar tak resmi yang berkonotasi negatif (bahasa aslinya rumor), melainkan suatu tema yang dipersoalkan. Mulanya pokok persoalan demikian luas dan mempunyai banyak pokok, tetapi kemudian akan terjadi kristalisasi sehingga pokoknya menjadi lebih jelas karena pihak-pihak yang terkait saling melakukan diskusi.
Public relations perlu mengantisipasi dan responsif terhadap isu-isu tersebut. Langkah ini dalam manajemen dikenal dengan Issues Management. Pada tahap ini media memegang peranan sangat penting karena media akan mengangkat suatu pokok persoalan kepada masyarakat dan masyarakat akan menanggapinya. Media mempunyai peranan yang sangat besar dalam perluasan isu dan bahkan membelokkannya sesuai dengan persepsinya. Media dapat melunakkan sikap publik atau sebaliknya meningkatkan perhatian publik, khususnya bagi hot issue, yakni yang menyangkut kepentingan publik yang luas.
Issue Management pada tahap ini perlu dilakukan secara simultan dan cepat, dengan melibatkan komunikasi personal dan sekaligus komunikasi dengan media massa. Public relations melakukan program komunikasi dengan kelompok stakehoders atau publik yang berbeda-beda pada ketuga tahap di atas.
Public relations, perlu mengembangkan objektive formal seperti komunikasi, akurasi, pemahan, persetujuan dan perilaku tertentu terhadap program-program kampanye komunikasinya.
Public relations harus mengembangkan program resmi dan kampanye komunikasi yang jelas untuk menjangkau objektive di atas.
Public relations khususnya para pelaksana, harus memahami permasalahan dan dapat menerapkan kebijakan kampanye komunkasi.
Public relations harus melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan tugasnya untuk memenuhi pencapaian objektive dn mengurangi konflik yang muncul di kemudian hari.
Tahap 1 samapi 3 di atas adalah tahap strategis, sedangkan empat tahap selanjutnya merupakan tahap reguler yang biasanya dilakukan oleh praktisi public relations.
Pembahasan
Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, dapat dikemukakan bahwa public relations merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan, salah satu tujuan tersebut adalah membentuk citra yang positif. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi yang efektif bagi public relations agar pembentukan citra yang positif perusahaan dapat tercapai.
Strategi public relations merupakan paduan antara fungsi-fungsi public relations dengan manajemen public relations yang digunakan untuk mencapai tujuan suatu perusahaan dalam jangka panjang serta selalu mendatangkan keuntungan. Sedangkan dalam hubungannya dengan pembentukan citra perusahaan, tidak lepas dari tujuan public relations dalam melaksanakan fungsi-fungsinya sehingga dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya public relations dalam melaksanakan fungsinya akan mempengaruhi pelaksanaan dari strategi public relations dalam membentuk citra.
Keberhasilan kegiatan yang dilakukan oleh public relations dalam melaksanakan rencana membentuk citra, merupakan suatu strategi yang digunakan oleh public relations dalam mencapai suatu tujuan yang dikehendaki oleh perusahaan yaitu citra positif, ditandai dengan adanya respon yang baik, saling mempercayai, saling menguntungkan dan saling pengertian antara perusahaan dengan publiknya. Citra yang positif dari publik akan selalu memberikan keuntungan dalam jangka panjang terhadap perusahaan, sehingga perusahaan harus selalu menjaga citra tersebut agar tidak merosot atau jatuh di mata publiknya.
Alasan citra positif yang ditetapkan menjadi tujuan perusahaan tersebut, karena dengan terbentuknya citra positif terhadap perusahaan diharapkan pesan-pesan yang disampaikan oleh perusahaan yang ditujukan kepada publiknya akan mudah diterima, sehingga dapat menimbulkan efek terhadap publik sesuai dengan tujuan disampaikannya pesan. Dengan kata lain terbentuknya citra positif terhadap perusahaan akan menghasilkan dampak positif yang berkesinambungan bagi seluruh produk atau jasa yang dihasilkannya.
Dalam pencapaian citra postif dari publik, yang perlu diperhatikan adalah pada tahap penentuan tujuan dalam membentuk perencanaan, hal ini berkaitan dengan komponen-komponen yang hendak digunakan dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan adanya kesesuaian antara komponen-komponen dengan tujuan rencana maka akan membuat pencapaian tujuan tersebut berjalan dengan efektif. Sehingga bisa dikatakan bahwa efektifitas suatu strategi public relations ditentukan pada tahap perencanaannya.
Dalam perencanaan hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Tujuan dan maksud perencanaan yang akan dibuat.
Pelaksana rencana.
Waktu yang tepat untuk mulai melaksanakan rencana tersebut.
Besarnya biaya yang diperlukan.
Antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya kendala dalam pelaksanaannya.
Pelaksanaan perencanaan mencapai tujuan citra posisif perusahaan, diperlukan adanya teknik komunikasi yang tepat agar efektif dalam menyampaikan pesan kepada publik. Komunikasi yang pada prinsipnya adalah penyampaian pesan untuk dapat menimbulkan dampak atau efek tertentu pada publik sasaran (komunikan) sehingga penggunaan teknik komunikasi harus memperhatikan publik sasaran agar dapat merekayasa jiwa publiknya (komunikan) sehubungan dengan perubahan sikap, pandangan dan perilaku tertentu sesuai dengan keinginan perusahaan.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa strategi public relations yang efektif untuk membentuk citra perusahaan yang selalu menguntungkan adalah dengan membuat perencanaan secara matang khususnya terhadap komponen-komponen yang tersedia sehingga dalam pelaksanaannya akan benar-benar mampu mencerminkan tujuannya.
Pelaksanaan perencanaan pada tahap komunikasi harus diperhatikan publik sasarannya, sehingga dapat digunakan teknik komunikasi yang tepat agar maksud dan tujuan dalam perencanaan dapat dengan mudah dipahami sehingga rencana tersebut dapat berjalan efisien.
Email: www.joko.wiranto@gmail.com
PUSTAKA
Bambang Siswanto, 1992, Humas, Bumi Aksara, Jakarta.
Haris Munandar, 1995, Public Relations, Edisi Keempat, Erlangga, Jakarta.
Ibnu Syamsi, 1980, Pokok-Pokok Pengertian Ilmu Hubungan Masyarakat, Balai Pembinaan Administrasi Akademi Administrasi Negara, Yogyakarta.
Phil. Astrid S. Susanto, 1989, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek 3, Binacipta, Bandung.
Redi Panuju, 2002, Krisis Public Relations, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rhenald Kasali, 1994, Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Grafitti, Jakarta.
Rosady Ruslan, 2002, Manajemen Humas dan Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rosady Ruslan, 1994, Public Relations Dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2002, Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosdakarya, Bandung.

PROBLEMS OF LAW TO LAYER MOTION PICTURE EXPERT GROUP 3 (MP3) (Permasalahan Hukum Terhadap MP3)

A.Pendahuluan

MP3 adalah sebuah singkatan dari Motion Picture Expert Group, Layer 3 yang merupakan format encoding suatu data audio yang bertujuan untuk mereduksi dan melakukan kompresi sejumlah data dalam audio tersebut, namun tetap memiliki kualitas audio sama dengan yang tidak mengalami kompresi. Sebagai contoh, suatu data audio yang disimpan dalam format lain membutuhkan space sebesar 50 megabyte, sedangkan apabila menggunakan format MP3, space yang dibutuhkan hanya seperlimanya saja, yaitu sekitar 5 megabyte.
Faktor ukuran data dari MP3 yang hanya membutuhkan space yang sedikit dari sebuah hardisk dan semakin maraknya diseminasi atau pertukaran data di internet yang dipacu semakin tingginya kecepatan transfer data di Internet, telah menyebabkan terjadi penyebaran data MP3 yang begitu pesat. Penyebaran yang begitu pesat ini menimbulkan suatu isu penting seputar MP3, yaitu aspek legalitas dari MP3 khususnya terkait dengan hak cipta.
Sebagian besar konten MP3 adalah sebuah musik atau lagu. Lagu tersebut biasanya berasal dari Compat Disk (CD) yang orisinil kemudian setelah melalui proses grabbing, lagu tersebut di kompresi menggunakan encoding software MP3 sehingga menjadi data MP3 yang biasanya berekstensi data.mp3. Rata-rata sebuah CD memuat sebelas hingga dua belas lagu dengan total data sebesar 650 MB. Setelah melalui proses konversi menjadi MP3, besar data masing-masing lagu berkisar antara lima hingga enam megabyte. Setelah mencapai besaran yang terkompresi, data-data tersebut dengan mudah dapat didistribusikan melalui internet. Data tersebut dapat didistribusikan melalui surat elektronik (e-mail), melalui proses upload ke server tertentu kemudian di-download, atau dapat juga melalui pertukaran data orang perorang yang biasa disebut dengan peer-to-peer networking.

B.Form dan Substance MP3

Pemahaman terhadap MP3 terlebih dahulu dimulai dari pemahaman mengenai form atau bentuk dan substance atau isi dari MP3. Dilihat dari bentuknya, MP3 adalah sebuah software atau perangkat lunak. MP3 dapat dikategorikan secara bentuk sebagai software karena memiliki karakteristik sebuah software, yaitu dibangun berdasarkan algoritma tertentu, menggunakan suatu bahasa program (MP3 pertama kali ditulis menggunakan bahasa C), dan telah melalui proses coding dan decoding sehingga dapat dikenali oleh suatu operation system. Dengan pemahaman MP3 sebagai software, Thomson Consumer Electronics sebagai pemegang lisensi dari MPEG Layer 1, 2, dan 3, mematenkan software MP3 di negara yang mengakui adanya “software patent” seperti United Stated of America dan Jepang. Sesungguhnya MP3 dikatakan sebagai sebuah software karena MP3 menjalankan suatu fungsi komputasi tertentu, yaitu melakukan konversi dan kompresi data audio dengan encoding MP3 hingga dapat didengarkan menggunakan MP3 player seperti WinAmp untuk platform windows da XMMS untuk platform *nix.
Dengan dipatenkanya MP3, tidak banyak pengembang software yang mau mengembangkan software berbasis MP3, sehingga lahir beberapa software alternatif seperti Ogg, dan WMA. Dengan demikian, MP3 secara form menjadi illegal di negara-negara yang mengakui paten terhadap software, hingga berakhirnya waktu paten pada 2010 dan paten menjadi public domain.
Dilain sisi, apabila memahami MP3 dari sudut pandang substansinya maka pemahaman ini beranjak dari konten atau isi dari MP3 itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konten atau isi dari MP3 adalah data audio yang umumnya merupakan musik atau lagu. Dengan pemikiran ini, maka secara substantif MP3 adalah sebuah karya cipta yang merupakan bagian dari hak cipta. Pemahaman terhadap bentuk dan isi MP3 amat penting untuk menentukan aspek legalitas dari MP3 tersebut, sehingga dapat diketahui kapan suatu MP3 merupakan data legal dan kapan suatu MP3 dikatakan sebagai data illegal.

C.Aspek Legalitas MP3

Permasalahan hukum terkait hak cipta dalam MP3 telah mencuat seiring banyaknya keluhan dari Asosiasi Industri Rekaman Amerika (RIAA). RIAA mengeluhkan banyak beredar MP3 yang telah melanggar hak cipta. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu RIAA tengah menghadapi permasalahan dengan sebuah mesin pencari (search engine) di Internet. Pada Maret 1998, Federasi Internasional Industri Phonograph (the International Federation of the Phonograph Industry/IFPI), sebuah asosiasi rekaman lainnya, mengajukan gugatan terkait dengan perkara kriminal terhadap FAST Search and Transfer ASA, sebuah search engine untuk pencarian MP3 yang berlokasi di Oslo.
Search engine ini memberikan sebuah links langsung ke file MP3 untuk dapat diunduh secara langsung. FAST memberikan lisensi search engine tersebut kepada Lycos, salah satu search engine terbesar yang berlokasi di Amerika Serikat. Dilain kesempatan RIAA juga telah mengajukan gugatan terhadap Lycos di Amerika Serikat. Laporan yang telah diajukan IFPI hanya menyangkut tuduhan-tuduhan terhadap FAST yang merupakan masalah pelanggaran hak cipta.
Dari uraian tersebut timbul permasalahan hukum, apakah benar MP3 sudah pasti merupakan data yang illegal? Jawabannya akan ditemukan dalam contoh berikut. Seseorang men-download sebuah data MP3 di Internet melalui search engine tersebut. Dalam kasus ini dapat dijumpai beberapa kemungkinan permasalahan hukum. Secara substantif perlu dilihat apakah data MP3 tersebut merupakan data yang isinya merupakan objek perlindungan hukum (hak cipta) atau tidak. Apabila ternyata isinya bukan merupakan objek perlindungan hukum, maka secara substantif ia tidak melanggar hukum, sedangkan apabila ternyata MP3 tersebut isinya merupakan objek perlindungan hukum, juga tidak serta merta MP3 tersebut menajadi MP3 illegal, perlu dilihat secara formalitas mendownloadnya, apakah melalui mekanisme yang benar sesuai hukum atau tidak.
Sehingga timbul kondisi apabila orang tersebut mencari MP3 menggunakan search engine tersebut lalu mendownload sebuah MP3 yang memang kontennya tidak dilindungi hak cipta maka tidak terjadi suatu permasalahan, permasalahnya baru muncul ketika MP3 yang didownload merupakan objek hak cipta. Kondisi lainnya, apabila MP3 yang didownload tersebut merupakan objek hak cipta, namun telah melalui prosedur yang sesuai dengan hukum, misalnya dengan cara membeli lagu tersebut maka MP3 yang didownload tersebut bukan lah MP3 yang illegal.
Dapat disimpulkan, untuk mengatakan apakah suatu MP3 merupakan data yang legal atau illegal, perlu terlebih dahulu dilihat formailtas dan substansi dari MP3 tersebut. Dengan demikian suatu MP3 dapat dikatakan illegal apabila diperoleh melalui cara yang bertentangan dengan hukum, misalnya melalui cracking dan atau isinya merupakan objek hak cipta sehingga tidak boleh didistribusikan secara bebas. Sehingga dalam kasus IRAA, seandainya search engine tersebut telah menyiapkan mekanisme legal seperti pembelian MP3 atau menjelaskan secara detail MP3 mana yang merupakan hak cipta dan MP3 mana yang bukan hak cipta, maka permasalahan antara IRAA vs Search Engine dapat terselesaikan.

D.Perlindungan Hukum Terhadap MP3 di Indonesia

Maraknya peredaran MP3 illegal di Indonesia telah mencapai taraf yang menghawatirkan terhadap perkembangan investasi dibidang cakram optik. Menurut Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusara Rekaman Indonesia, Binsar Victor Silalahi, mengaku mengakhawatirkan maraknya VCD/DVD/CD/MP3 lagu dan film bajakan. Berdasar catatan dia, dalam sebulan sekurang pembajak mampu memproduksi delapan juta keping VCD/DVD/CD/MP3 bajakan, “Ini akan berpengaruh terhadap investasi cakram optik. Apalagi DVD/VCD porno dapat mengakibatkan kasus-kasus asusila di masyarakat. Ini harus ditekan,'' jelasnya.
Awal perkembangannya, kualitas suara musik atau lagu yang asli berbeda dengan kualitas lagu atau masik yang hasil bajakan. Namun dengan adanya teknologi konversi digital seperti adanya MP3, penurunan kualitas suara pada produk bajakan bisa diminimalisir, bahkan kualitas suara produk bajakan setara dengan kualitas suara pada CD orisinal. Selain itu harga sebuah keping MP3 illegal (bajakan) jauh lebih murah dari harga keping CD orisinal. Sebagai perbandingan, harga suatu keping MP3 illegal yang mampu memuat lebih dari seratus lagu berkisar lima ribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah, dibandingkan dengan MP3 bajakan yang beredar dengan harga lima ribu rupiah perkeping. Kedua faktor ini lah yang menyebabkan pembajakan MP3 di Indonesia semakin marak.
Untuk menekan laju pembajakan dan atau peredaran MP3 bajakan di Indonesia perlu adanya law enforcement yang kuat dan tegas oleh aparat penegak hukum, Salah satunya melalui perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual. Perlindungan terhadap MP3 dalam sudut pandang hukum mengenai hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta dapat kembali dipandang dari dua sisi yaitu form dan substance-nya. Dari sisi form-nya perlindungan hak cipta ditujukan pada MP3 sebagai software, sehingga MP3 memenuhi unsur sebagai Program Komputer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (UUHC) yaitu:
Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dengan terpenuhinya unsur MP3 sebagai program komputer / software, maka MP3 menjadi objek perlindungan dari hak cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UUHC, yaitu:
Pasal 12
1.Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a.buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Amerika, dimana MP3 dilindungi dengan paten, yaitu dengan adanya software patent. Di Indonesia, sebuah program komputer bukan merupakan objek paten, hal ini berdasarkan Penjelasan atas Undang-undang Tentang Paten yang menyebutkan sebagai berikut.
Invensi tidak mencakup:
1.kreasi estetika;
2.skema;
3.aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
a.yang melibatkan kegiatan mental,
b.permainan,
c.bisnis;
4.aturan dan metode mengenai program komputer; [cetak tebal dari penulis]
Dengan demikian, MP3 bukan merupakan objek perlindungan paten sehingga tidak bisa dipatenkan di Indonesia. Selanjutnya, perlindungan apa yang tepat untuk melindungi MP3 secara form-nya sebagai software? Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perlindungan hukum yang tepat bagi MP3 sebagai software adalah dengan mekanisme hak cipta. Apabila terjadi pelanggaran hak cipta seperti memperbanyak software MP3 atau mendistribusikan software tersebut tanpa izin Pencipta atau Pemegang Lisensi MP3 tersebut dan untuk tujuan komersial dapat diterapkan ketentuan dalam Pasal 72 ayat (3) UUHC yaitu: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Akan tetapi, apabila perbanyakan software MP3 tersebut untuk tujuan membuat salinan cadangan program MP3 tersebut dan semata-mata untuk tujuan pribadi, maka perbuatan demikian bukanlah perbuatan yang melanggar hak cipta, hal ini berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 15 huruf g UUHC.
Selanjutnya, bagaimana perlindungan hak cipta terhadap substance atau isi dari MP3? Telah dijelaskan, isi atau konten dari MP3 lazimnya berisi lagu atau musik. Sebuah lagu atau musik dapat dikategorikan sebagai karya seni, dan berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf d sebagai berikut.
Pasal 12
1.Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a....
b....
c....
d.lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
MP3 yang banyak beredar di Indonesia memiliki konten lagu-lagu atau musik bajakan berasal dari CD orisinal yang di-ripping kemudian dikompilasi menjadi satu CD yang berisi data MP3 yang memiliki konten musin atau lagu digital. Dalam proses ini terjadi pengalihwujudan karya seni dari analog menjadi digital, pengalihwujudan lagu atau musik analog menjadi digital menyebabkan semakin mudahnya proses penyalinan musik atau lagu digital dari satu media ke media lainnya.
Pengalihwujudan suatu karya cipta untuk tujuan komersil yang dilindungi oleh hak cipta harus berdasarkan izin dari Pencipta atau Pemegang hak cipta, sehingga apabila proses pengalihwujudan lagu atau musik menjadi lagu atau musik digital tanpa seizin dari Pencipta atau Pemegang hak cipta, hasil konversi tersebut dianggap telah melanggar hak cipta, hal ini disebabkan, proses pengalihwujudan atau konversi dari suatu karya cipta sudah merupakan proses perbanyakan dari karya cipta itu sendiri. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUHC dikatakan sebagai berikut: hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, apabila pengalihwujudan yang menyebabkan adanya perbanyakan terhadap suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, tindakan tersebut dapat memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UUHC yaitu sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan, di Indonesia, meskipun MP3 tidak bisa dilindungi dengan Hak Paten, MP3 baik secara form maupun secara substansinya telah mendapat perlindungan hukum yaitu dengan adanya perlindungan terhadap hak cipta dari ciptaan MP3 tersebut. Permasalahan terkait MP3 illegal di Indonesia yang lebih banyak terjadi adalah pengalihwujudan musik dan lagu yang menyebabkan terjadinya perbanyakan ciptaan tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta. Sedangkan permasalahan hak cipta terkain form dari software MP3 itu sendiri tidak banyak terjadi, hal ini antara lain disebabkan software MP3 memang dilisensikan sebagai free software yang artinya diperbolehkan untuk didistribusikan atau di salinkan secara gratis.
Salah satu solusi untuk menekan laju peredaran MP3 illegal selain penegakan hukum adalah menyediakan MP3 legal dengan harga bersaing. Harga yang bersaing didapat karena penjualan MP3 legal secara online dapat memangkas jalur distrbusi. Perusahaan rekaman di Indonesia dapat meniru mekanisme penjualan MP3 yang telah dilakukan oleh iTuns, AllOfMP3, Tunster, dan lainnya. Diharapkan dengan adanya MP3 legal dengan harga bersaing, pebajakan di Indonesia dapat direduksi seminimal mungkin.


Sumber tulisan: http://www.neoteker.or.id/analisis.doc Oleh: Ahmad Zakaria

Email: www.joko.wiranto@gmail.com

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN BANKERS LETTER OF CREDIT (L/C)

Latar Belakang
Dalam perdagangan internasional Letter of Credit (L/C) merupakan instrumen perbankan yang sangat penting. L/C berperan sangat dominan sebagai alat pembayaran ekspor impor dibandingkan dengan cara pembayaran non L/C.
L/C sebagai suatu instrumen dalam perdagangan internasional diatur secara internasional oleh Kamar Dagang Internasional. Peraturan ini dituangkan dalam The Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC). Bank Indonesia juga telah menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993, yang menyatakan Bank Indonesia memberikan pilihan kepada Bank Umum yang menerbitkan L/C boleh tunduk atau tidak pada UCP 1993 Revision, ICC Publication No. 500. Demikian juga di luar negeri, bank-bank komersial sudah menundukkan L/C yang diterbitkan pada UCPDC. Di samping itu Bank Indonesia menerbitkan pula peraturan yang mendukung pelaksanaan transasksi impor ekspor melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/26/ULN/1999 Tahun 1999 tentang Penjaminan Letter of Credit dan Pembiayaan Letter of Credit melalui Penempatan Dana Bank Indonesia pada Bank Asing; dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/11/DLN/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Impor.
Bank devisa sebagai pihak yang terkait dalam transaksi L/C, belum memiliki kesamaan pendapat dalam melaksanakan transaksi tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi di dalam lingkup nasional tetapi juga menjadi masalah antarnegara yang terkait dalam transaksi. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan L/C, UCPDC tidak mengatur kerjasama antara UCPDC dengan hukum nasional, namun UCPDC hanya mengatur secara umum pelaksanaan L/C secara lintas negara.
Dari uraian di atas, tampak bahwa dalam perberlakuan UCPDC, terdapat hal-hal tertentu yang berbenturan dengan kepentingan hukum nasional, terutama ditinjau dari persoalan pelaksanaan L/C berdasarkan UCPDC yang bertentangan dengan hukum nasional.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah The Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC) dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah L/C?
Pembahasan
Ketentuan-Ketentuan Dalam Transaksi Letter Of Credit
Gambaran Singkat Tentang Letter of Credit
L/C merupakan instrumen yang sangat penting, khususnya dalam perdagangan ekspor impor yang digunakan sebagai sarana untuk memudahkan penyelesaian utang piutang. Pada umumnya L/C digunakan untuk membiayai kontrak penjualan barang antarnegara antara pemberli dengan penjual yang belum saling mengenal. Dengan perkataan lain, L/C merupakan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh bank atas nama salah satu nasabahnya yang menguasakan seseorang atau sebuah perusahaan penerima tersebut dengan menarik wesel atas bank yang bersangkutan atau atas salah satu bank korespondennya bagi kepentingannya, berdasarkan kondisi/persyaratan yang tercantum pada instrumen tersebut. Sementara itu, dalam UCPDC, L/C merupakan janji dari bank penerbit (Issuing Bank) untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain (Advising Bank) untuk melakukan pembayaran kepada penerima (beneficiary) atas penyerahan dokumen-dokumen (misalnya konosemen, faktur, asuransi) yang sesuai dengan persyaratan L/C.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa L/C merupakan janji pembayaran, dimana bank penerbit melakukan pembayaran kepada penerima baik langsung ataupun melalui bank lain atas instruksi pemohon (applicant) yang berjanji membayar kembali kepada bank penerbit.
Permintaan penerbitan L/C terdiri dari 2 (dua ) bagian yaitu format permintaan penerbitan L/C dan perjanjian jaminan ganti kerugian (security agreement). Perjanjian jaminan ganti kerugian di Indonesia dan di negara lain ditetapkan oleh masing-masing bank penerbit secara sepihak. Dengan perkataan lain, jika pemohon dapat menyetujuinya, pemohon tinggal membubuhkan tanda tangan pada perjanjian tersebut dan jika pemohon ingin menambahkan ketentuan tambahan, maka hal tersebut harus terlebih dahulu disetujui oleh bank penerbit. Perjanjian jaminan ganti kerugian memuat hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit secara relatif rinci.
Sementara, bentuk dasar permintaan penerbitan L/C di Indonesia ditetapkan oleh Bank Indonesia sehingga keberadaannya seragam pada semua bank penerbit. Namun, Bank Indonesia memberi kebebasan kepada semua bank devisa untuk menambahkan klausul-klausul lainnya sesuai kebutuhan bank penerbit dan pemohon, sehingga materi cakupan format permintaan penerbitan L/C dapat diperluas. Format permintaan penerbitan L/C berisi hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit yang melengkapi hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit sebagaimana dimuat dalam perjanjian jaminan ganti kerugian.
Bank penerbit menerbitkan L/C kepada penerima tidak boleh menyimpang dari permintaan penerbitan L/C. Jika bank penerbit melakukan penyimpangan, maka bank penerbit bertanggung jawab atas risiko yang mungkin timbul dari tindakannya. Pemohon hanya bertanggung jawab sebatas isi permintaan penerbitan L/C. Pemohon berhak menolak pembayaran kembali kepada bank penerbit terhadap L/C yang diterbitkan bank tersebut yang menyimpang dari permintan penerbitan L/C. Dana pemohon tersebut sudah pasti hanya boleh digunakan oleh bank penerbit sepanjang bank penerbit bertindak sesuai dengan isi permintaan penerbitan L/C yang telah disepakati antara pemohon dan bank penerbit. Apabila bank penerbit bertindak di luar kesepakatan sehingga merugikan pemohon, maka pembayaran yang telah dilakukan oleh bank penerbit kepada penerima baik langung ataupun melalui kuasanya menjadi tanggungjawab bank penerbit dan tidak boleh dibebankan pada pemohon.
Permintaan penerbitan L/C diatur oleh hukum nasional masing-masing negara yang dalam hal-hal tertentu dapat berbeda dari satu negara terhadap negara lainnya. Akan tetapi, hakikat permintaan penerbitan sama secara internasional yaitu bank penerbit menerbitkan L/C karena pemohon berjanji membayar kembali nilai L/C kepada bank penerbit yang melakukan pembayaran baik langsung maupun melalui bank yang ditunjuk kepada penerima.
UCPDC yang mengatur hubungan hukum antara pemohon dan bank penerbit pada dasarnya terbatas pada pelaksanaan prosedur yang meliputi instruksi penerbitan dan perubahan L/C, instruksi penerbitan L/C yang tidak jelas atau tidak lengkap dalam penyampaian instruksi dan dalam pelaksanaan intruksi. Selain UCPDC, hak dan kewajiban pemohon dan bank penerbit dalam rangka pelaksanaan prosedur juga didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Hukum kebiasaan internasional diperlukan karena tidak semua masalah-masalah hukum dari transaksi L/C diatur dalam UCP.
Hubungan Hukum dalam Transaksi Letter of Credit
Dalam transaksi Letter of Credit terdapat hubungan-hubungan hukum yang utama, yaitu:
Hubungan Hukum Pemohon dan Penerima
Kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C adalah sales contract (kontrak penjualan). Kontrak penjualan memuat hak dan kewajiban pembeli/ pemohon dan penjual/ penerima.
L/C diterbitkan bank penerbit atas permintaan pemohon sesuai dengan kontrak penjualan. Bank penerbit atau bank penerus bukan para pihak dalam kontrak penjualan walaupun nama kedua bank ini dimuat dalam kontrak penjualan. Para pihak dalam kontrak penjualan adalah pembeli dan penjual.
L/C yang diterbitkan atas dasar kontrak penjualan, menurut hukum L/C merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan. Apabila terjadi sengketa dalam kontrak penjualan, maka tidak boleh dikaitkan dengan L/C. Pemisahan seperti ini dinamakan prinsip pemisahan kontrak atau prinsip independensi L/C. Namun pada pelaksanaannya kadang-kadang terjadi intervensi atas prinsip pemisahan kontrak tersebut. Sengketa mengenai barang yang merupakan subyek kontrak penjualan diikuti dengan penangguhan pembayaran yang merupakan subyek L/C.
Sebagai contoh, dalam kasus antara PT Star Impactama Indah dengan Lucky-Goldstar Jakarta Representative Office, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membenarkan keberadaan intervensi kontrak penjualan terhadap L/C, yaitu sengketa atas barang diikuti dengan penangguhan pembayaran atas L/C.
Hubungan Hukum Pemohon dan Bank Penerbit
Hubungan hukum antara pemohon dan penerbit didasarkan pada kontrak yang dinamakan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C diperlukan dalam rangka merealisasi cara pembayaran sebagaimana diatur dalam kontrak penjualan. Jika Bank penerbit setuju untuk melaksanakan permintaan pemohon, maka bank penerbit menerbitkan L/C. L/C dengan demikian diterbitkan berdasarkan permintaan penerbitan L/C. Permintaan penerbitan L/C dan kontrak penjualan juga terpisah satu sama lain.
Sebagai contoh, dalam kasus antara United City Merchants (Investments) Ltd. Dengan Royal Bank of Canada,10 dimana hakim mengatakan: “The contract between the buyer and the issuing bank under which the latter agrees to issue the credit and either itself or through a confirming bank to notify the credit to the seller and to make payments to or to the order of the seller (or to pay, accept or to negotiate bills of exchange drawn by the seller) against presentation of stipulated documents; and the buyer agrees to reimburse the issuing bank for payments made under the credit. For such reimbursement the stipulated documents, if they include a document of title such as a bill of lading, constitute a security available to the issuing bank.”
Dalam kasus ini, dasar hubungan hukumnya adalah kontrak antara pemohon yaitu United City Merchants (Investments) Ltd. Dan bank penerbit yaitu Royal Bank of Canada. Klausula kontrak ini mengenai permintaan penerbitan L/C dan hanya mengikat pemohon dan bank penerbit. Inti dari kontrak tersebut, bank penerbit berjanji menerbitkan L/C kepada penerima, karena pemohon berjanji akan membayar kembali sebesar nilai L/C kepada bank penerbit. Selain itu, pemohon juga berkewajiban membayar biaya penerbitan L/C kepada bank penerbit.
Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Penerima
Hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank penerbit yang disetujui penerima. Persetujuan penerima terhadap L/C diwujudkan melalui pengajuan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C kepada bank penerbit. Namun penerima tidak berkewajiban untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh bank penerbit. Sebelum L/C disetujui oleh penerima, maka L/C merupakan kontrak sepihak dari bank penerbit yang tidak mengikat penerima. L/C diterbitkan atas dasar permintaan penerbitan L/C, tetapi kedua kontrak ini terpisah satu sama lain.
Hak dan kewajiban bank penerbit dan penerima diatur dalam UCPDC sepanjang L/C tunduk pada UCPDC. Namun, walaupun L/C tunduk pada UCPDC tidak berarti bahwa semua ketentuan UCPDC harus berlaku bagi L/C tersebut. L/C dapat memuat klausul-klausul tersendiri terlepas dari ada atau tidak pengaturannya dalam UCPDC. Dalam hal klausul-klausul tersebut bertentangan dengan ketentuan UCPDC, maka yang berlaku adalah klausul-klausul tersebut. Namun, dalam hal klausul-klausul tersebut tidak diatur dalam UCPDC maka dengan sendirinya klausul-klausul tersebut berlaku bagi L/C. Pengaturan klausul-klausul demikian dalam L/C sesuai dengan asas freedom of contract (kebebasan berkontrak) yang dikenal secara internasional.
Hubungan Hukum Bank Penerbit dan Bank Penerus
Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus didasarkan pada instruksi bank penerbit kepada bank penerus yang disetujui bank penerus. Bank penerbit memberi instruksi kepada bank penerus untuk meneruskan L/C. Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus adalah “hubungan keagenan” dimana bank penerbit bertindak sebagai prinsipal dan bank penerus sebagai agen. Hak dan kewajiban kedua bank ini diatur dalam instruksi bank penerbit yang dimuat dalam L/C. Selain itu, hak dan kewajiban kedua bank juga diatur dalam UCPDC jika L/C tunduk pada UCPDC. UCPDC mengatur hak dan kewajiban bank penerbit dan bank penerus dalam melakukan penerusan dan perubahan L/C kepada penerima. Sebagai bank penerus saja bank ini tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran, negosiasi, atau akseptasi terhadap wesel penerima.
Jika bank penerus dalam L/C diminta juga oleh bank penerbit untuk menambahkan konfirmasinya pada L/C, maka bank penerus tersebut juga melaksanakan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi (confirming bank). Dalam hal bank penerus adalah juga sebagai bank pengkonfirmasi, maka kewajiban bank ini adalah sama dengan kewajiban bank penerbit yaitu melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi wesel terhadap penerima. Konsekuensinya, bank pengkonfirmasi berkewajiban pula melakukan penelitian kesesuaian antara dokumen-dokumen yang diajukan dan L/C sebagai syarat untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi.
Tangggung jawab bank penerbit dan bank pengkonfirmasi terhadap pembayaran L/C sama yaitu pembayaran dapat dimintakan kepada salah satu dari kedua bank ini. Jika bank pengkonfirmasi tidak bersedia melakukan pembayaran L/C dengan alasan-alasan tertentu, maka bank penerbit tetap berkewajiban menggantikan. Pembayaran yang dilakukan bank pengkonfirmasi wajib dibayar kembali oleh bank penerbit atau bank pereimburs (reimbursing bank) yang ditunjuk bank penerbit karena bank pengkonfirmasi adalah agen dari bank penerbit.
Namun demikian, UCPDC tidak mewajibkan bank penerus menjadi bank pengkonfirmasi. Artinya, bank penerus dapat menolak permintaan bank penerbit untuk bertindak sebagai bank pengkonfirmasi. Dalam hubungan ini, Artikel 9 huruf c UCPDC 500 mengatakan:
“if another bank is authorised or requested by the issuing bank to add its confirmation to a Credit but is not prepared to do so, it must so inform the issuing bank without delay. Unless the issuing bank specifies otherwise in its authorisation or request to add confirmation, the advising bank may advise the Credit to the beneficiary without adding its confirmation.”
Bank yang diberi kuasa oleh bank penerbit menjadi bank penerus tidak harus sekaligus menjadi bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank penegosiasi atau bank pengaksep. Artinya, bank penerus dapat berfungsi hanya sebagai bank penerus dan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank pembayar, bank penegosiasi, atau bank pengaksep dilakukan oleh bank lain. Tindakan bank penerus atau bank lain untuk melakukan pembayaran, negosiasi atau akseptasi merupakan kontrak yang mengikat (binding contract) terhadap bank penerbit sepanjang persyaratan L/C dipenuhi.
Hubungan Hukum Bank Penerus dan Penerima.
Hubungan hukum antara bank penerus dan penerima tergantung dari fungsi yang dilakukan oleh bank penerus sesuai dengan persyaratan L/C. bank penerus dapat berfungsi sebagai bank penerus, bank pengkonfirmasi, bank penegosiasi, bank pembayar.
Dalam hal bank penerus hanya menjalankan fungsinya sebagai bank penerus, maka kewajibannya terhadap penerima hanya terbatas pada penerusan L/C dan penerusan perubahannya. Oleh karena itu, penerima tidak berhak untuk meminta pembayaran L/C dari bank penerus. Namun dalam hal bank penerus juga sebagai bank pengkonfirmasi maka selain meneruskan L/C kepada penerima bank ini juga melakukan konfirmasi atas L/C tersebut. Konsekuensinya, penerima dapat meminta pembayaran L/C kepada bank pengkonfirmasi dimaksud karena kewajiban bank pengkonfirmasi merupakan tambahan terhadap kewajiban pembayaran dari bank penerbit terhadap penerima. Apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank penegosiasi maka kewajiban bank ini yaitu selain meneruskan L/C juga melakukan pembelian dokumen-dokumen yang diajukan penerima. Selanjutnya, apabila bank penerus diminta pula sebagai bank pembayar maka kewajiban bank ini adalah meneruskan L/C dan melakukan pembayaran kepada penerima.
Namun, apabila bank penerus bertindak pula sebagai bank pengaksep, maka kewajiban bank ini selain meneruskan L/C kepada penerima juga melakukan akseptasi atas wesel berjangka yang diajukan penerima dan membayarnya pada saat pembayaran jatuh tempo. Kecuali dalam kapasitas bank penerus hanya sebagai bank penerus, maka bank penerus dalam menjalankan fungsi sebagai bank pengkonfirmasi, bank penegosiasi, bank pembayar, atau bank pengaksep wajib melakukan penelitian atas kesesuaian dokumen-dokumen yang diajukan penerima dengan persyaratan L/C. Jika dokumen-dokumen sesuai dengan L/C, maka bank tersebut berkewajiban melakukan pembayaran L/C kepada penerima. Pelaksanaan pembayaran L/C tunduk pada UCPDC dan hukum nasional yang berkaitan dengan L/C.
Di Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Sementara, di Amerika diatur dalam Uniform Commercial Code (UCC) dan di Inggris diatur dalam Bills of Exchnge Act 1882. UCPDC dan hukum nasional saling melengkapi dalam mewujudkan pembayaran L/C.
Ketentuan Hukum yang Mengatur Letter of Credit
Ketentuan Hukum Tentang Letter of Credit di Indonesia
Dasar hukum L/C di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 khususnya Pasal 3 ayat (1), yang menyatakan: “Cara pembayaran ekspor dan impor dilakukan dengan tunai atau dengan kredit.”
Meskipun ketentuan pelaksana yang mengatur secara rinci belum ada. Namun dalam praktik perbankan di Indonesia telah digunakan UCPDC sebagai ketentuan L/C. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 mengatur bahwa L/C yang diterbitkan bank devisa boleh tunduk atau tidak kepada UCPDC. Dengan demikian, Bank Indonesia secara yuridis formal memberikan kebebasan kepada bank devisa di Indonesia untuk menentukan sikap. Isi dari penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN tersebut, dilatar belakangi oleh status UCPDC yang bukan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan Letter of Credit pada Perdagangan
UCPDC merupakan ketentuan kebiasaan yang digunakan dalam perdagangan internasional dengan menggunakan Banker’s L/C.26 UCPDC bertujuan menciptakan keseragaman dalam pembayaran L/C secara internasional dan merupakan pedoman dalam pelaksanaan L/C.
Untuk pertama kalinya UCPDC dikeluarkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) pada tahun 1933 dan hanya diadopsi oleh beberapa negara di Eropa tidak termasuk Inggris. Pada tahun 1951, dilakukan revisi pertama atas UCPDC yang kemudian diadopsi oleh perbankan di Amerika. Kemudian pada tahun 1962 dilakukan revisi kedua yang diadopsi oleh perbankan Inggris dan negara-negara persemakmuran. Revisi ketiga dilakukan pada tahun 1974 yang diadopsi oleh hampir semua perbankan internasional. Revisi yang keempat dilakukan tahun 1983 yang juga diadopsi oleh perbankan internasional. Kemudian revisi yang terakhir dilakukan pada tahun 1993, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1994 yang dikenal dengan sebutan UCPDC 500.
UCPDC 500 mengatur persyaratan dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi pembayaran L/C dan merupakan pedoman yang digunakan pelaku L/C dalam transaksi L/C. Dokumen-dokumen yang dipersyaratkan didalam L/C merupakan syarat agar L/C dibayar oleh bank penerbit atau kuasanya. Dokumen-dokumen tersebut terdiri dari dokumen transportasi, dokumen asuransi, faktur dagang, dan dokumen lainnya. Bank yang terkait dalam transaksi L/C memiliki kewajiban untuk meneliti semua dokumen apakah telah sesuai dengan persyaratan L/C.29 Hal tersebut menentukan apakah L/C dapat dibayarkan atau tidak oleh Bank.
Pertentangan Hukum pada Transaksi Letter of Credit
Pada dasarnya L/C tunduk pada ketentuan dalam UCPDC dan menjadi pilihan hukum dalam transaksi L/C. Namun sebenarnya UCPDC bukan merupakan satu-satunya hukum yang berlaku untuk L/C. Dalam UCPDC Artikel 49, pengadilan atau lembaga abritase dapat menerapkan hukum nasional, meskipun L/C tunduk pada UCPDC.
Tidak semua masalah-masalah yang terjadi dalam L/C diatur dalam UCPDC. Namun masalah yang timbul tetap harus diselesaikan dan dapat dilakukan dengan merujuk pada ketentuan hukum nasional. Penentuan hukum nasional sebagai hukum yang berlaku atas L/C didasarkan pada prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Hal ini didasarkan pada kesepakatan para pihak dalam L/C yang dituangkan dalam kontrak.
Tinjauan Yuridis Terhadap Letter Of Credit Pada Ketentuan Hukum Nasional Dan UCPDC 500
Perangkat Hukum Indonesia Mengenai Letter of Credit dalam Kaitannya dengan UCPDC 500
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 merupakan dasar hukum merupakan dasar hukum L/C di Indonesia, meskipun ketentuan pelaksanaan yang secara rinci mengatur L/C belum ada. Namun Bank Indonesia dalam Surat Edaran No. 26/34/ULN tanggal 7 Desember 1993 menyatakan bahwa L/C yang diterbitkan bank devisa boleh tunduk atau tidak pada UCPDC. Dengan demikian, Bank Indonesia secara yuridis normatif memberikan kebebasan kepada bank devisa untuk menentukan aturan dalam transaksi L/C.
Isi Surat Edaran Bank Indonesia tersebut, dilatarbelakangi oleh status UCPDC yang bukan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Surat Edaran tersebut secara eksplisit mengharuskan L/C yang diterbitkan bank devisa tunduk pada UCPDC, maka menjadikan UCPDC bagian dari hukum nasional dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam hal para pihak menghendaki L/C tunduk pada UCPDC dan memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap L/C, maka bank penerbit harus melakukan suatu tindakan dengan mencantumkan suatu klausul dalam L/C yang menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC. Ketentuan ini terdapat pada UCPDC 500 artikel 1, yang menyatakan: “The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits, 1993 Revision, ICC Publication No. 500, shall apply to all Documentary Credits (including to the extent to which they may be applicable, Standby Letters of Credit) where they are incorporated into the text of the Credit. They are binding on all parties there to, unless otherwise expressly stipulated in the Credit.”
Selanjutnya ketentuan L/C dalam UCPDC merupakan hukum kebiasaan dari praktek pembayaran dalam perdagangan internasional. UCPDC merupakan pedoman dalam pelaksanaan L/C, agar dapat menghindari perbedaan atau salah penafsiran di antara para pelaku L/C dalam pelaksanaan L/C. Meskipun ada beberapa negara yang menyatakan bahwa UCPDC merupakan kodifikasi praktik dalam transaksi perdagangan internasional. Oleh karena itu, pengaturan UCPDC sedapat mungkin dipadukan dengan keadaan yang berkembang dalam transaksi perbankan internasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Bank Indonesia secara implisit menghendaki agar L/C yang diterbitkan oleh bank devisa tunduk pada UCPDC. Hal ini dikarenakan UCPDC merupakan satu-satunya ketentuan L/C yang berlaku internasional. Namun Bank Indonesia menghindari UCPDC sebagai hukum nasional, dengan maksud fleksibilitas penerbitan L/C.
Tinjauan Yuridis Terhadap Masalah Pertentangan Hukum
Dalam hal terjadi permasalahan hukum di antara para pelaku L/C, UCPDC tidak mengatur dengan tegas mengenai pilihan hukum untuk penyelesaiannya. Dengan menundukkan L/C pada UCPDC, para pihak hanya mengadopsi seperangkat peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan prosedur dari L/C. Apabila para pihak belum menyatakan pilihan hukumnya dalam hal terjadi sengketa L/C, maka pengaturan tersebut dapat merujuk pada hukum nasional.
Namun, dalam hal terjadi pertentangan hukum antara UCPDC dengan hukum nasional, sementara UCPDC tidak mengatur penyelesaian sengketanya dan UCPDC tidak dapat mengesampingkan hukum nasional, maka diselesaikan oleh pengadilan atau arbitor dengan melakukan pilihan hukum. Penentuan hukum nasional sebagai hukum yang berlaku atas L/C didasarkan pada prinsip hukum perdata internasional yang berlaku bagi kontrak internasional. Hal ini dapat didasarkan pada hukum nasional yang memiliki keterkaitan paling dekat dan nyata dengan transaksi L/C, misalnya ditentukan berdasarkan Lex Contractus atau Lex Loci Solutionis.
Para pihak melakukan pilihan hukum atas dasar asas kebebasan berkontrak. Meskipun pilihan hukum para pihak harus dihormati, namun pilihan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum (public policy). Konsepsi ketertiban umum berbeda dari satu negara kenegara lainnya. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 tentang Tata cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, ketertiban umum adalah sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.
Pilihan hukum hanya dapat dilakukan terhadap sistem hukum yang memiliki keterkaitan yang relevan dengan kontrak. Para pihak tidak dapat memilih sistem hukum yang sama sekali tidak ada keterkaitan dengan kontrak yang bersangkutan. Pilihan hukum tersebut merujuk pada substansi hukum intern dari negara yang dipilih, bukan merujuk pada sistem hukum perdata internasional dari negara yang dipilih. Dalam transaksi L/C, mengenai kontrak penjualan; permintaan penerbitan L/C; dan kontrak keagenan merupakan bidang hukum kontrak yang bersifat mengatur. Sehingga, dalam hal diperlukan dalam masing-masing kontrak tersebut dapat dimuat klausul pilihan hukum.
Kontrak-kontrak dalam rangka transaksi L/C apabila dilihat dari pentingya pengaturan pilihan hukum dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian yaitu pertama kelompok yang mutlak perlu pilihan hukum dan kedua kelompok yang relatif perlu pilihan hukum. Kelompok yang pertama meliputi kontrak penjualan dan L/C; dan kelompok yang kedua mencakup permintaan penerbitan L/C dan kontrak keagenan. Pengelompokan ini dilakukan atas pertimbangan bahwa permintaan penerbitan L/C pada dasarnya tidak memerlukan pengaturan pilihan hukum karena pemohon dan bank penerbit pada umumnya berada dalam negara yang sama. Sementara itu, kontrak keagenan yang merupakan bagian dari L/C juga pada dasarnya tidak memerlukan pengaturan pilihan hukum untuk L/C. Berdasarkan pengelompokan tersebut, pengaturan pilihan hukum hanya sangat relevan untuk kontrak penjualan dan L/C.
Dalam hal kontrak penjualan tidak memuat klausul pilihan hukum, maka hukum nasional yang berlaku atas kontrak penjualan tersebut ditentukan berdasarkan teori-teori hukum perdata internasional yang berlaku untuk kontrak seperti teori-teori dalam hukum perdata internasional, yaitu lex loci contractus; lex loci solutionis; dan the closest and most real connection.
Hukum Nasional yang berlaku atas Letter of Credit
Dalam hal L/C tidak memuat klausul pilihan hukum maka hakim harus menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut dalam hal terjadi sengketa. Penentuan hukum nasional yang berlaku didasarkan pada prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional mengenal beberapa teori untuk menentukan hukum nasional yang berlaku.
Teori tersebut antara lain adalah teori lex loci contractus yaitu teori yang mengatakan bahwa hukum nasional yang berlaku atas L/C adalah hukum nasional negara tempat L/C ditandatangani. Dalam hal L/C ditandatangani oleh bank penerbit dan oleh karena itu hukum nasional yang berlaku terhadap L/C adalah hukum nasional negara di mana bank penerbit berada.
Teori lainnya adalah teori lex loci solutionis yang mengatakan bahwa hukum nasional yang berlaku untuk L/C adalah hukum nasional negara tempat pelaksaan kontrak. Dalam hal L/C dilaksanakan dengan cara menerbitkan dan melakukan pembayaran L/C,maka bank yang menerbitkan dan membayar L/C adalah bank penerbit dan oleh sebab itu hukum nasional yang berlaku atas L/C adalah hukum nasional negara di mana bank penerbit berada.
Hal ini berarti bahwa penentuan hukum nasional yang berlaku atas L/C, baik berdasarkan teori lex loci contractus maupun atas dasar teori lex loci solutionis hasilnya akan selalu sama yaitu memberlakukan hukum nasional negara tempat bank penerbit. Oleh karena itu, dalam rangka penentuan hukum nasional yang berlaku atas L/C, pembedaan kedua teori hukum perdata internasional ini tidak relevan. L/C merupakan pengecualian terhadap pembedaan antara teori lex loci contractus dan lex loci solutionis. Dengan perkataan lain, untuk menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tidak perlu dilihat dari kedua teori tersebut, melainkan cukup berdasarkan salah satu saja dari kedua teori dimaksud.
Dalam menentukan hukum nasional yang berlaku atas kontrak dagang internasional didasarkan pada teori kepentingan yang paling karakteristik dengan kontrak tersebut. Dengan adanya kriteria kepentingan yang paling karakteristik, akan diperoleh lebih banyak kepastian hukum dibanding dengan menggunakan teori-teori lama seperti lex loci contractus atau lex loci solutionis atau teori lainnya.
Teori kepentingan yang paling karakteristik tersebut berlaku juga untuk L/C, mengingat L/C adalah salah satu dari kontrak dagang internasional. Dalam hal L/C tidak memuat klausul pilihan hukum maka untuk menentukan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut dapat digunakan teori kepentingan yang paling karakteristik atau teori faktor yang paling terkait atau disebut juga teori keterkaitan paling dekat dan paling nyata.
Menurut teori ini, kecenderungan hukum nasional yang berlaku untuk L/C adalah hukum negara di mana bank penerbit berada. Dengan perkataan lain, keterkaitan paling dekat dan paling nyata ditemukan di negara bank penerbit berupa tempat dilakukannya penerbitan L/C, tempat dilakukannya perubahan L/C, tempat dilaksanakannya penelitian dokumen-dokumen dan tempat dilaksanakannya pembayaran L/C.
Namun, kecenderungan itu juga berlaku bagi pemberlakuan hukum negara di mana penerima berada karena pada negara tersebut dapat terjadi permintaan pembayaran L/C, penelitan dokumen-dokumen dan pembayaran L/C.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidak semua masalah L/C diatur dalam UCPDC. Sementara itu, setiap permasalahan harus diselesaikan oleh para pihak agar tidak mengganggu lalu lintas perdagangan dan bonafiditas salah satu pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, masalah yang timbul tetap dapat diselesaikan dengan menunjuk hukum nasional setelah mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional yang berlaku dalam kontrak. Meskipun hukum nasional yang berlaku belum tentu sesuai dengan kemauan para pihak karena dimungkinkan hukum nasional yang berlaku hukum negara ketiga yang materi muatannya berbeda dengan hukum nasional masing-masing pihak.
Kesimpulan
UCPDC 500 tidak selalu memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap L/C. UCPDC hanya mengikat bagi L/C, apabila di dalam L/C dimuat klausul tentang pilihan hukum yang menyatakan tunduk kepada UCPDC. Penundukan pada UCPDC hanya sebatas pada pelaksanaan prosedur L/C, bukan merupakan penundukan pada masalah-masalah hukum yang tidak di atur dalam UCPDC. Kontrak dasar yang mendasari penerbitan L/C adalah sales contract atau kontrak penjualan. Kontrak penjualan memuat hak kewajiban para pihak, klusul cara pembayaran, dan lainnya. L/C yang diterbitkan merupakan kontrak yang terpisah dari kontrak penjualan. Pemisahan ini disebut dengan prinsip indepedensi L/C. Permasalahan yang timbul dalam sales contract tidak boleh dikaitkan dengan L/C. Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi intervensi atas prinsip pemisahan kontrak tersebut. Permasalahan mengenai barang yang menyangkut subyek kontrak penjualan diikuti dengan penangguhan pembayaran yang merupakan subyek L/C.
Dalam hal terjadi permasalahan di antara pelaku L/C terutama yang tidak diatur dalam UCPDC, diselesaikan oleh hukum nasional. Untuk menentukan pilihan hukum nasional yang berlaku atas L/C tersebut, dapat menggunakan teori-teori dalam hukum perdata internasional. Sebaiknya L/C yang diterbitkan oleh bank pembuka di Indonesia dibuat agar tunduk pada UCPDC 500 karena UCPDC 500 telah diterima secara internasional; dan dibuat peraturan perundang-undangan mengenai L/C internasional, dimana UCPDC dan hukum nasional sejalan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S., Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Ekspor. PT Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, 1997.
Budi Fitriadi S., Aspek Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Diktat Perkuliahan Lalu Lintas Dalam Negeri dan Luar Negeri, STIE YPKP, Bandung, 2000
Charles del Busto, Operational Rules for Letter of Credit: Effect of New Uniform Customs and Practice Rules, Uniform Commercial Code Law Journal, Volume 17 Number 4, Spring 1995.
Henry D. Gabriel, Stanby Letter of Credit: Does the Risk Out Weigh the Benefits, Columbia Business Law Review. 1998.
Lazar Sarna, Letter of Credit-The Law and Current Practice, Carswell, Toronto, Calgary, Vanxouver, 1996.
Putusan Sela Nomor: 207/Pdt. G/1994/PN.Jak.Sel.
Ramlan Ginting, Letter of Credit, Salemba Empat, 2000, Jakarta
Roselyne Hutabarat, Transaksi Ekspor Impor, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1998
Raymond Jack, Documentary Credits, Butterworths, London, Dublin, Edinburgh, 1993.
Ruddy Tri Santoso, Pembiayaan Transaksi Luar Negeri, Andi Offset, Yogyakarta.
Sudargo Gautama, Kontrak Internasional, Makalah Ilmiah Tentang Perkembangan Hukum Kontrak Dalam Bisnis di Indonesia, Jakarta, 1999.
Sumitro, Peranan UCP 500 dalam Mengantisifasi Kerugian Bank Devisa dan Nasabah, Seminar Tentang 8 Strategi Kunci Versi UCP-500, yang diselengarakan oleh KADIN, Jakarta, 2002.
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit atau UCPDC 1993 Revision, ICC Publication No. 500.

HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOBA

PENDAHULUAN
Hak asasi manusia, pada dasarnya merupakan hak yang melekat secara kodrati pada diri setiap manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Hak-hak yang dimiliki manusia tersebut, di Indonesia dituangkan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta memberikan perlindungan secara hukum.
Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia di Indonesia ini rupanya juga berpengaruh terhadap penegakan hukum di Indonesia, misalnya terhadap pemberian hukuman mati. Pemberian hukuman mati masih banyak diperdebatkan oleh banyak pihak dari aspek pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Satu sisi mengatakan bahwa hukuman mati merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia, karena telah dianggap merampas hak hidup manusia. Namun di sisi lain berpendapat bahwa hukuman mati dapat dilaksanakan karena telah dinyatakan sebagai salah satu jenis pidana dalam ketentuan KUHP.
Pada tahun 2000 yang lalu, Pengadilan Negeri Tanggerang telah menjatuhkan putusan pidana mati bagi pengedar Narkoba yang berkebangsaan asing. Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang ini ternyata telah menimbulkan banyak perdebatan dari pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya, karena vonis mati terhadap pengedar narkoba ini baru pertama kali di Pengadilan Negeri Tanggerang, bahkan di Indonesia.
Ketentuan dalam KUHP sendiri juga memungkinkan adanya jenis hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana, sehingga pemberian hukuman mati, secara yuridis merupakan suatu kewenangan hakim untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan demi tegaknya hukum di Indonesia. dengan kata lain, vonis mati itu sudah dibenarkan oleh undang-undang. Selain itu secara eksplisit pula telah disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Narkotika, mengenai dapatnya seseorang untuk di pidana mati.
Sorotan terhadap hukuman mati biasanya dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia ini, tentunya mempunyai batas-batas tertentu apabila dihadapkan dengan suatu masalah yang menuntut adanya penempatan prioritas dalam penyelesaiannya. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepentingan yang lebih luas (misalnya, kepentingan bangsa). Hukuman mati ini apabila dilihat dari UU No.39 Tahun 1999, jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah merampas hak untuk hidup seseorang. Namun jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, seorang pengedar Narkoba telah merenggut berjuta-juta hak asasi manusia khususnya kaum generasi muda yang berarti juga sebagai penerus generasi bangsa.
PERMASALAHAN
Masalah inilah yang seringkali timbul dalam menegakkan hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap penjatuhan putusan Pengadilan terhadap pengedar Narkoba, dengan adanya pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati yang demikian itu sering pula menjadi pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan putusan yang akan menimbulkan kontroversi. Namun yang dapat dipertanyakan di sini, apakah benar pemberian hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia ?
PEMBAHASAN
1. Penegakan hukum
Sebagaimana yang pernah saya utarakan dalam sebuah media massa tahun 2000 lalu, bahwa saya sadar, vonis hukuman mati itu dianggap teramat kejam. Tapi saya harus menjatuhkan hukuman tersebut pada para penyelundup itu demi menyelematkan generasi muda. Selama ini, wilayah Indonesia sudah dijadikan pasar Narkoba, yang disebabkan tidak adanya hukuman yang berat yang membuat para penyelundup itu takut ataupun jera. Kenapa para penyelundup memilih Indonesia ketimbang Malaysia? Itu disebabkan, hukum Malaysia tidak kenal kompromi dengan para penyelundup dan pemakai Narkoba. Saya bukan tidak peduli soal HAM, bagi saya, yang melanggar HAM itu justru para penyelundup yang sudah merusak generasi muda. Sehingga menghukum mati beberapa orang saya anggap lebih baik ketimbang membiarkan jutaan anak-anak kita terancam masa depannya, kalau generasi muda sudah dicekoki dengan Narkoba siapa lagi yang akan menjadi penerus bangsa nantinya?
Dalam menjatuhkan hukuman mati tersebut, saya lakukan bukan untuk mencari sensasi ataupun popularitas karena sebelumnya belum pernah ada vonis mati untuk perkara serupa, namun yang saya lakukan adalah murni dari hati nurani saya yang paling dalam untuk menegakkan hukum di Indonesia serta melindungi anak-anak bangsa dari ancaman Narkoba.
Penegakan hukum yang saya maksud di sini, bukan hanya dari sisi penegakan hukum pidana saja, melainkan juga dari penegakan hak asasi manusia. Dari sisi pidana, jelas bahwa pengedar Narkoba merupakan suatu tindak pidana yang tentunya akan berakibat hukum sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 81 maupun Pasal 82 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Narkotika. Sedangkan dari sisi hak asasi manusia, pengedar Narkoba dapat dikatakan telah merusak generasi muda karena dengan Narkoba hak asasi manusia yang dimiliki generasi muda akan terampas. Selama ini belum ada satupun jenis Narkoba yang berdampak positif pada pemakainya selain untuk tujuan pengobatan yang berada di bawah pengawasan dokter.
Hukum yang berlaku mempunyai kaedah hukum yang sah terbentuk atau tersusun menurut tata cara tertentu sesuai dengan kaedah dasar yang lebih tinggi, karena hukum yang berlaku tidak cukup hanya berisi kaedah yang sah saja tetapi juga harus effektif. Effektivitas hukum tergantung pada kondisi sosial pendukung hukum. Kesatuan susunan hirarchi kaedah hukum yang sah dan berlaku secara effektif akan merupakan suatu proses yang menuju ke arah pembentukan tertib hukum. Suasana tertib hukum menjadi landasan utama bagi hukum yang berlaku sah untuk diopersionalkan (ditegakkan) guna mencapai keadaan tertib masyarakat atau masyarakat yang damai dan teratur.
Mekanisme penegakan hukum oleh petugas hukum harus berorientasi pada tujuan bahwa menyelenggarakan hukum sebagai suatu instrumen dari tertib sosial dan proses pelaksanaan perlindungan kepentingan individu harus dalam rangka suatu sistem tertib sosial, sehingga eksistensi hukum dan pelaksanaan hukum tidak bersifat otonomi dan tertutup dari kehidupan masyarakat.
Penegakan hukum suatu istilah khas di Indonesia yang diterima sebagai konotasi penerapan undang-undang. Suatu proses penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Dalam pengertian penegakan hukum terkandung makna kekuatan yaitu kekuasaan yang harus ada untuk dapat dijalankannya fungsi hukum, sehingga penegakan hukum mempunyai kaitan antara hukum dan kekuasaan.
Secara positif, makna kekuasaan merupakan sumber kekuatan yang menggerakkan masyarakat berada dalam lingkungan tatanan hidup bersama. Kekuasaan dalam proses penegakan hukum dimaksudkan melaksanakan atau menerapkan hukum atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh hukum dan kekuasaan yang disalurkan serta dibatasi oleh hukum.
Pengertian kekuasaan yang diberikan oleh hukum, tidak lain adalah fungsi dan tugas yang dinyatakan dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap petugas penegak hukum. Oleh karena itu hakim sebagai salah satu petugas penegak hukum harus melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi hidup dan berkembang dimasyarakat. Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Hukum adalah untuk kehidupan bermasyarakat maka penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Selain itu dalam penegakan hukum perlu diperhatikan mengenai adanya keadilan secara obyektif dan hukum sendiri tidak identik dengan keadilan, karena hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang dan tidak membeda-bedakan, sedangkan keadilan bersifat obyektif, individualistis dan membeda-bedakan. Penegakan hukum harus memberi perhatian terhadap ketiga unsur itu secara proporsional, walaupun dalam prakteknya sulit dilaksanakan namun perlu diusahakan.
Makna penegakan hukum sebagai suatu proses selain penyelenggaraan hukum juga sebagai penerapan hukum yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi menyangkut keputusan yang tidak diatur secara ketat oleh kaedah peraturan hukum, melainkan sebagai tindakan yang sah dengan unsur penilaian yang berada diantara hukum dan etika.
Petugas penegak hukum yang profesional di bidang hukum, harus melakukan kewajiban berdasarkan kemampuan, ketrampilan dan pengalaman yang dicapai dari pendidikan tinggi berarti seorang profesi hukum bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan hukum yang berkembang sesuai dengan jamannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan: kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam penjelasannya disebutkan, kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di ddalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang. Selain itu kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Ketentuan Pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut mengandung makna bahwa penegakan hukum oleh hakim secara khusus dilakukan apabila terjadi pelanggaran hukum oleh masyarakat yang dalam hal ini berupa perkara-perkara yang dihadapkan atau diajukan ke pengadilan. Perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan ini berarti sudah terdapat pelanggaran hukum atau setidak-tidaknya ada dugaan awal telah terjadi pelanggaran hukum.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pada dasarnya menetapkan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti bahwa hakim bersiap pasif menunggu sampai diajukan perkara kepadanya, baik yang berupa permohonan maupun berupa sengketa atau pelanggaran. Setelah menerima perkara hakim harus memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, yang dilakukan dengan merumuskan masalah-masalah hukumnya dari peristiwa konkrit yang diajukan kepadanya, memecahkannya, mengambil (menjatuhkan) putusan dan menyelesaikannya.
Sejalan dengan hal tersebut dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menyebutkan: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa hakim harus memeriksa dan mengadili semua perkara yang diajukan, walaupun tidak ditemukan hukum tertulisnya dan menjadi kewajiban hakim untuk mencari hukum yang tidak tertulis agar dapat memberi putusan terhadap perkara yang bersangkutan.
Berkaitan dengan Pasal 14 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yaitu: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut, agar putusan yang ditetapkan oleh hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pembentuk undang-undang tidak berpendirian bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, oleh karena itu hukum bukanlah diciptakan tetapi harus digali, dicari atau diketemukan di dalam masyarakat.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hakim mempunyai tugas menegakkan hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan terhadap masyarakat yang membutuhkannya.
Penegakan hukum oleh hakim dimulai pada tahap pemeriksaan di persidangan sejak mengajukan pertanyaan kepada terdakwa (pemeriksaan terdakwa), pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut digunakan untuk menemukan peristiwa yang relevan bagi hukum dari peristiwa konkrit yang diajukan di persidangan. Peristiwa yang relevan bagi hukum berarti peristiwa yang penting bagi hukum sehingga dapat dicakup oleh hukum dan dapat ditundukkan pada hukum, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi penyelesaian perkara. Dengan diketahuinya peristiwa yang relevan bagi hukum maka dapat diperoleh suatu peristiwa hukum dan dapat diterapkan peraturan hukumnya, karena peraturan hukum hanya dapat diterapkan pada peristiwa hukum saja.
Kemampuan atau ketrampilan merumuskan masalah hukum, memecahkan masalah hukum dan mengambil keputusan harus dibekali dengan penguasaan kaedah-kaedah hukum, sistem hukum dan penemuan hukum. Penguasaan kaedah hukum tidak sekedar mengerti dan memahami bunyi peraturan, tetapi hubungannya dengan peraturan-peraturan lain serta asas-asas hukum yang terdapat di dalamnya. Ketentuan hukum hanya akan berarti apabila terdapat dalam sistem hukumnya, sehingga penguasaan sistem hukum ini sangat menunjang untuk melaksanakan ketentuan hukum. Selanjutnya penguasaan penemuan hukum diperlukan dalam mengembangkan hukum, agar tidak terjadi kekosongan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Setelah hakim menemukan peristiwa hukumnya kemudian melakukan pembuktian dengan menghadirkan saksi-saksi yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta meneliti barang bukti yang diajukan di persidangan hingga hakim memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum tersebut memang benar-benar terjadi. Setelah tahap pembuktian dianggap cukup maka hakim kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara tersebut dan apabila dari sumber hukum yang berupa peraturan perundang-undangan tidak ditemukan yang relevan dengan perkara tersebut maka hakim harus mencari dari sumber-sumber hukum yang lain misalnya dari hukum kebiasaan, putusan pengadilan (yurisprudensi) dan doktrin.
Apabila hakim telah menemukan peraturan hukum yang relevan dengan perkaranya, selanjutnya diterapkan pada peristiwa hukumnya. Kalau ada berbagai kemungkinan kualifikasi atau terjemahan yuridis dari peristiwa konkritnya maka pada penerapan peraturan hukumnya terdapat pula berbagai kemungkinan konstruksi yang harus dipertimbangkan untuk dapat dipilih salah satu.
Penerapan hukumnya pada peristiwa hukum, digunakan hakim untuk mengambil atau menjatuhkan putusan. Dalam menjatuhkan putusan bukanlah sekedar menerapkan peraturan tetapi haruslah dipertimbangkan serta dievaluasi secara cermat alternatif putusan yang akan dijatuhkan. Dalam memilih putusan yang akan dijatuhkan, perlu diperhatikan bukan sekedar dipenuhi atau tidaknya prosedur tertentu menurut undang-undang melainkan setelah putusan itu dijatuhkan dapat atau tidak diterima oleh para pihak yang terkait dalam perkara dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan pribadi hakim yang dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan hakim misalnya pendidikan, agama serta lingkungannya.
Hakim harus mengadili menurut hukum, oleh karena itu putusannya harus berdasakan hukum serta harus mengandung atau menjamin kepastian hukum yang artinya ada jaminan bahwa hukum telah dijalankan sehingga putusannya dilaksanakan dan yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya, selain itu memberi jaminan pula bahwa perkara yang serupa harus diputus serupa.
Putusan hakim harus bermanfaat baik bagi yang bersengketa maupun bagi masyarakat yang berkepentingan. Masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan kehidupan bermasyarakat, dengan adanya sengketa maka keseimbangan tatanan kehidupan bermasyarakat terganggu, oleh karena itu harus dipulihkan kembali melalui putusan hakim.
2. Hak asasi manusia
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999, adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Batasan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia, telah memberi penjelasan bahwa pemberian hukuman mati merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia. Namun hendaknya penafsiran bunyi pasal tersebut dikaji dari tingkat kepentingan yang lebih luas serta bagaimana masyarakat menilai hukum tersebut. Karena kaedah-kaedah hukum hanya akan dapat hidup dan berkembang apabila selaras dengan tingkat perkembangan masyarakatnya.
Sedangkan pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Terlebih lagi adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu diterapkan, maka walaupun menyalahi Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Apalagi jika dilihat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pengedar narkoba mempunyai dampak yang cukup luas, banyak pecandu narkoba yang disembuhkan tetapi kambuh lagi. Kalau sudah ketagihan dan tak mempunyai uang bisa mendorong pecandunya untuk berbuat jahat, selain itu untuk para pelajar yang menjadi pecandu mengakibatkan turunnya semangat belajar secara drastis akibatnya pelajaran di sekolah menjadi terbengkalai. Akhirnya menjadi generasi yang loyo dan tak berguna serta sakit luar dan dalam. Bisa dibayangkan apabila dengan keadaan generasi muda yang demikian itu diharapkan menjadi tulang punggung penerus bangsa. Betapa bangsa ini akan berantakan dan pada akhirnya menjadi runtuh.
Tidak termasuknya vonis mati sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terbukti bahwa perbuatan yang dilakukan pengedar Narkoba dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat (kejahatan terhadap kemanusiaan) sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dan diperjelas dalam ketentuan Pasal 9 huruf b UU No.26 Tahun 2000 (pada waktu saya menjatuhkan vonis belum diundangkan) dan akibatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UU No.26 Tahun 2000, dapat dikenakan pidana yang salah satunya pidana mati. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa vonis mati terhadap pengedar Narkoba yang saya anggap telah melakukan pelanggaran HAM diakomodasikan secara jelas dalam undang-undang tersebut.
KESIMPULAN
Uraian di atas telah membuktikan bahwa pemberian hukuman mati terhadap pengedar Narkoba tidak benar kalau dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia, justru para pengedar Narkoba itulah yang telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Kliping tentang vonis mati dari Pengadilan Negeri Tanggerang